Jumat, 15 Februari 2013

Pembaharuan Pendidikan Pesantren


PEMBAHARUAN PENDIDIKAN PESANTREN 
DALAM MENGHADAPI TANTANGAN DAN HAMBATAN
DI MASA MODERN

Oleh:
Yelis Nur Wahidah[1]

A.    PENDAHULUAN
Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani[2]. Pendidikan Islam disebut juga sebagai sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia[3]. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal.
Pesantern sebagai pendidikan nonformal adalah sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam[4]. Pondok pesantren juga sebagai basis pendidikan yang tertua di Indonesia karena sejalan dengan perjalanan penyebaran Islam di Indonesia, hal ini dibuktikan dengan telah berdirinya pondok-pondok pesantren sejak abad ke-15, seperti Pesantren Gelogah Arum yang didirikan oleh Raden Fatah pada tahun 1476 sampai pada abad ke-19 dengan beberapa pondok-pondok pesantren yang dipimpin oleh para wali, seperti Pesantren Sunan Malik Ibrahim di Gresik, Pesantren Sunan Bonang di Tuban, Pesantren Sunan Ampel di Surabaya dan Pesantren Tegal Sari yang terkemuka di Jawa[5].
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bersifat nonformal harus mengadakan perubahan dan pembaharuan guna menghasilkan generasi-generasi yang tangguh, generasi yang berpengetahuan luas dengan kekuatan jiwa pesantren dan keteguhan mengembangkan pengetahuan yang tetap bersumber pada al-qur’an dan hadis. Dalam perkembangan zaman, pesantren saat ini berhadapan dengan arus globalisasi dan modernisasi yang ditandai dengan cepatnya laju informasi dan teknologi. “Karena itu, pesantren harus melakukan perubahan format, bentuk, orientasi dan metode pendidikan dengan catatan tidak sampai merubah visi, misi dan orientasi pesantren itu, akan tetapi perubahan tersebut hanya pada sisi luarnya saja, sementara pada sisi dalam masih tetap dipertahankan.
Eksistensi pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan SDM yang handal. Adapun yang melatar belakangi penyusun untuk menyusun makalah ini adalah minimnya pengetahuan penyusun tentang pembaharuan apa saja yang seharusnya dilakukan di pesantren dalam menghadapi tantangan dan hambatan di masa modern, adapun salah satu tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang dunia pendidikan pesantren.
                               
B.     PERMASALAHAN
1.      Apa saja prinsip-prinsip pembaharuan yang harus ditegakan pesantren dalam menghadapi tantangan dan hambatan di era modern?
2.      Bagaimana peta tantangan dan hambatan yang akan dihadapi pesantren sebagai pendidikan Islam dalam menjawab tantangan modern?

C.    PEMBAHASAN
1.      Potret Pendidikan Pesantren
Pesantren yang diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini masih eksis dan diakui keberadaannya di masayarakat, meskipun tidak jarang di antara masyarakat membcarakan pengelolaan pendidikan pesantren yang masih kurang.
Pengelolaan pesantren yang apa adanya tersebut mudah dilihat dari kurikulum sebagai pesantren yang belum dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Sebagai akibatnya, para alumni pesantren juga sering kali gagap dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai contoh, tatkala ada sebagian alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat sebaga politisi, mereka seakan gagap menghadapi perannya yang baru karena mereka memang belum atau bahkan tidak mengetahui betul bagaimana “konstruksi polotik Islam” dan strategi berpolitik yang disebut-sebut sebagai high politic. Hal tersebut terjadi karena materi kajian yang diberikan di pesantren kurang dikontekstualkan dengan perkembangan zaman seperti fih politik/fiqh as-siyasah belum diberikan secara baik dan terstrukturkan dalam bangunan kurikulum pesantren[6].
Bukti pengelolaan pesantren yang apa adanya adalah tenaga pengajar pesantren yang belum dipersiapkan secra sistematis sebgai ustadz profesional yang menguasai maddah dan sekaligus mampu mempraktikan metode (thariqah) pembelajaran yang baik. Hal lain yang membuktikan lemahnya pengelolaan pesantren adalah jaringan sebagian pesantren juga diakui lemah, baik jaringan dengan sesama pesantren, masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah. komunikasi yang dilakukan pesantren kurang intensif dan efektif. Hal lain yang bisa dijadikan bukti adalah rendahnya pengelolaan pembelajaran di pesantren bisa dilihat dari terbatasnya sarana dan prasarana yang dimilikinya. Padahal jika pesantren mampu meyakinkan stake holder bahwa ia mampu menyiapkan santri yang berkualitas maka pesantren tersebut akan mudah membangun jaringan yang kuat, yang memungkinkan kebutuhannya akan sarana dan prasarana terpenuhi dengan baik. Hal ini sudah terbukti di beberapa pesantren yang telah maju dan besar sehingga mereka mampu menggalang dukungan dana dari masyarakat melalui waqaf dan lainnya[7].
Meski banyak kelemahan yang dimiliki oleh pesantren, sebagian besar di antaranya masih tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat muslim Indonesia, Terlebih lagi pesantren yang memiliki figur kharismatik, mampu menjaga kualitas keilmuannya, berkonsentrasi penuh terhadap perkembangan keilmuannya para santri, dan mampu membangun komunikasi yang baik dengan komunitas sosial dan pemerintah[8].
2.      Pengertian Pembaharuan Pendidikan Islam
Secara bahasa, kata tajdid berarti pembaharuan. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Dalam hal ini tajdid adalah koreksi ulang atau konseptualisasi ulang pada hakikatnya selalu berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing, dalam pelaksanaannya diperlukan pemahaman yang dalam akan paradigma dan pandangan hidup islam yang bersumber dari al-quran dan sunnah, serta pendapat para ulama terdahulu yang secara ijma dianggap shahih. Pembaharuan Islam bukanlah sesuatu yang evolusioner, melainkan lebih cenderung devolusioner, dengan artian bahwa pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan bertahap di mana yang datang kemudian lebih baik dari sebelumnya[9].
Harun Nasution menyebut gerakan pembaharuan pemikiran Islam dengan istilah modernisasi pemikiran Islam yang mempunyai arti, seperti dikutip Azyumardi Azra sebagai suatu aliran, gerakan, pemikiran, dan usaha untuk mengubah paham, adat istiadat agar semuanya disesuiakan dengan pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Adapun modernisasi menurut KBBI, adalah suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini[10].
      Berbeda dengan Harun Nasution, Maulana Maududi menyebut pembaruan pemikiran Islam dengan istilah tajaddud-tajdid, istilah tersebut diartikan sebagai suatu gerakan pemurnian yang merupakan reaksi atas melemah dan membekunya karena ancaman dari luar, menurut Maulana Maududi, suatu gerakan bisa disebut sebagai pembaruan jika:
a.       Merupakan usaha perbaikan kondisi masyarakat dengan membersihkan penyakit yang meracuninya
b.      Mencari letak permasalahan untuk menyelesaikannya
c.       Identifikasi kemampuan dirinya untuk melakukan pembaruan
d.      Upaya menciptakan perombakan pandangan dan pola berpikir masyarakat ke arah yang lebih baik.
e.       Upaya perbaikan secara praksis
f.       Active dan responsive mengembangkan aplikasi Islam
g.      Merombak secara Internasional[11].
Berdasarkan asumsi bahwa pembaruan pendidikan Islam bersumber dari upaya pembaruan pemikiran Islam, maka pembaruan pendidikan Islam diartikan sebagai pembaruan pemikiran yang dilakukan dalam bidang pemikiran maupun praktek pendidikan Islam. Dengan makna ini, pendapat manapun mengenai pembaruan pemikiran dapat disubtitutikan. Gerakan pembaruan pada dasarnya mengusung nilai-nilai seperti: nilai pembaruan, nilai perjuangan, nilai kemerdekaan pikiran agama dan pikiran, nilai persatuan dan solidaritas.
3.      Beberapa Pembaharuan Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, disinyalir sebagai sistem pendidikan yang lahir dan tumbuh melalui kultur Indonesia yang bersifat “indogenous”, yang mana telah mengadopsi model pendidikan sebelumnya yaitu dari pendidikan Hindu dan Budha sebelum kedatangan Islam[12]. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki kekhasan, baik dari segi sistem maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. perbedaan dari segi sistem, terlihar dari proses belajar mengajar yang cenderung sederhana, meskipun harus diakui ada juga pesantren yang memadukan sistem modern dalam pembelajarannya[13].
Berdasarkan tujuan pendiriannya, pesantren hadir dilandasi sekurang-kurangnya oleh dua alasan: pertama, pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar ma;ruf, nahyi munkar). Kedua, salah satu tujuan pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh plosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat[14].
Di tengah kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini tentua saja harus sadar bahwa penggiatan diri yang hanya pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai, maka dari itu pesantren harus proaktif dalam memberikan ruang bagi pembenahan dan pembaharuan sistem pendidikan pesantren dengan senantiasa harus selalu apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespon perkembangan dan pragmatisme budaya yang kian menggejala. Hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren mensiasati fenomena tersebut dengan beberapa perubahan pesantren di bawah ini
a.     Pembaharuan Metode pembelajaran
Model Pembelajaran pesantren pada mulanya populer menggunakan metodik-didaktif dalam bentuk sorogan, bandongan, halaqah dah hafalan. Menurut Mastuhu (1989: 131), pembaharuan metode pembelajaran mulai terjadi sekitar awal abad ke-20 atau tepatnya  sekitar tahun 1970-an, dari pola sorogan berubah menjadi sistem klasikal, tidak hanya itu, beberapa pendidikan keterampilan juga mulai masuk ke dunia pesantren, seperti bertani, berternak, kerajinan tangan mulai akrab dikehidupan santri sehari-hari. ini dimaksudkan untuk mengembangkan wawasan atau orientasi santri dari pandangan hidup yang selalu berpandangan ukhrowi, supaya seimbang dengan kehidupan duniawi[15].
b.    Pembaharuan Kurikulum
Pada umunya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, materi pembelajarannya lebih mengutamakan pelajaran agama Islam yang bersumber dari kitab-kitab klasik, seperti tauhid, hadis, tafsir, fiqih dan sejenisnya. Kurikulum didasarkan pada tingkat kemudahan dan kompleksitas kitab-kitab yang dipelajari, mulai dari tingkat awal, menengah dan lanjut[16].
Dalam perkembangannya, hampir setiap pesantren telah melakukan pembaharuan kurikulum dengan memasukkan pendidikan umum dalam kurikulum pesantren. Sifatnya bervariasi, ada pesantren yang memasukan pendidikan 30% agama dan 70% umum, adapula yang sebaliknya, yakni 80% agama dan sisanya pelajaran umum.
c.     Pembaharuan Evaluasi
Kemampuan santri biasanya dievaluasi dengan keberhasilannya mengajarkan kitab kepada orang lain. Apabila audiensi merasa puas, maka santri yang bersangkutan dinilai telah lulus. Legalisasi kelulusannya adalah restu kiai bahwa santri tersebut diizinkan pindah untuk mempelajari kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya dan boleh mengajarkan kitab yang dikuasainya kepada yang lain.
Pesantren yang telah mengadopsi pembaruan kurikulum, baik yang mengacu pada Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan Nasional jelas telah meninggalkan model evaluasi tersebut. Model madrasi/klasikal evaluasinya sebagaimana madrasah pada umunya, yaitu menggunakan ujian resmi dengan memberikan angka-angka kelulusan serta tanda kelulusan seperti ijazah[17].
d.    Pembaharuan Organisasi/ Manajemen
Dalam konteks pembaharuan manajemen, meskipun peran kiai tetap dipandang penting, tetapi kiai tidak ditempatkan pada posisi penentu kebijakan secara tunggal. Dari sini kerja dimulai dengan pembagian unit-unit kerja sesuai urutan yang ditetapkan pimpinan pesantren. Ini berarti kekuasan kiai telah terdistrubusi kepada yang lain yang dipercaya untuk mengemban tugas, mekanisme kerja juga mulai diarahkan sesuai dengan visi dan misi pesantren. Berangkat dari hal tersebut, terkadang tetap diakui bahwa pola perencanaan pesantren umunya masih tergolong sederhana, seringkali program jangka pendek, menengah, dan jangka penjang tampak tumpang tindih. Akibatnya, program-programn demikian sulit diukur tingkat pencapainnaya[18].
4.      Prinsip-Prinsip Pembaharuan Yang Harus Ditegakan Pesantren
Proses globalisasi adalah suatu proses menuju keadaan budaya global yang pasti setuju atau tidak setuju memasuki budaya Indonesia yang pada akhirnya akan mengubah hal-hal yang mendasar dalam pandangan hidup dan mencukupi seluruh aspek kehidupan. Berangkat dari hal tersebut, KH. Ali Maksum menyatakan delapan prinsip-prinsip yang terlihat dan harus diterapkan dalam pemharuan pendidikan pesantren, yaitu[19]:
a.       Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam. Para santri dibantu agar mampu memahami makna hidup, keberadaan, peranana, serta tanggung jawabnya dalam kehidupan di masyarakat.
b.      Memiliki kebebasan yang terpimpin. Setiap manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dibatasi karena kebebasan memiliki potensi anarkisme. Keterbatasan (ketidak bebasan) mengandung kecenderungan mematikan kreativitas, berangkat dari hak tersebut, maka pembatasan harus dibatasi. Inilah yang dimaksud kebebasan yang terpimpin, dan kebebasan inilah yang dibentuk oleh K.H. Ali Maksum dalam mengasuh santrinya
c.       Berkemampuan mengatur diri sendiri. Pada umumnya santri harus dapat mengatur diri sendiri dan kehidupannya menuruti batasan yang telah diajarkan agama.
d.      Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Dalam hal kewajiban santri harus menunaikan kewajiban terlebih dahulu, sedangkan dalam hak-hak, para santri harus mendahulukan kepentingan orang lain sebelum kepentingan sendiri
e.       Menghormati orang tua dan guru. Ini memang ajaran Islam, tujuan ini dicapai antara lain melalui penegakan berbagai pranata di pesantren seperti mencium tangan guru, tidak membantah guru. Demiian juga terhadap orang tua, karena nilai-nilai ini sudah banyak terkikis di sekolah-sekolah.
f.       Cinta kepada ilmu. Menurut al-quran ilmu (pengetahuan) datang dari Allah, banyak hadis yang yang mengajarkan pentingnya menuntut ilmu dan menjaganya, maka dari itu para santri harus memandang ilmu sebagai sesuatu yang suci dan tinggi.
g.      Mandiri. Apabila mengatur diri sendiri kita sebut otonomi, maka mandiri yang dimaksud adalah berdiri atas kekuasaan sendiri, sejak awal santri telah dilatih untuk mandiri, sperti kebanyakan masak sendiri, mengatur uang belanja sendiri, mencuci pakaian sendiri dan sebagainya.
h.      Kesederhanaan. Dilihat secara lahiriah sederhana memang mirip dengan kemiskinan, padahal yang dimaksud sederhana contohnya di Pesantrern Krapyak adalah sikap hidup, yaitu sikap memandang sesuatu, terutama materi secara wajar, proporsional dan fungsional. Sebenarnya banyak para santri yang berlatar belakang orang kaya, mereka dilatih hidup sederhana. Ternyata orang kaya tidak sulit menjalani kehidupan sederhana bila dilatih seperti di kehidupan pesantren, apa yang melatih mereka? kondisi pesantren itulah yang melatih mereka. Di sini kita melihat bahwa pesantren adalah suatu sistem; yang kondisi itu merupakan salah satu elemennya. kesederhanaan itu sesungguhnya realisasi keimanan dari ajaran Islam yang pada umunya telah diajarkan para sufi. Hidup secara sufi memang merupakan suatu yang khas pada umumnya.

5.      Tantangan Dan Hambatan Pendidikan Pesantren Di Era Modernitas
Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang cenderung mengikuti pola ‘Barat’ yang modern, maka dari itu, lembaga pendidikan pesantren sering dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas Indonesia.
Tantangan dan harapan masyarakat akan adanya suatu pesantren yang berkualitas semakin marak. Pesantren diharapkan memberi sesuatu dan mereflesikan kebutuhan konsumen, namun harapan ini tidak mudah direalisasikan dengan cepat karena peningkatan mutu pesantren lebih merupakan proses daripada hanya kejadian seketika. Sebagai pendidikan alternatif, tantangan yang dihadapi pesantren semakin hari semakin besar, kompleks dan mendesak, sebagai akibat meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, perkembangan fisik bangunan pesantren juga mengalami kemajuan-kemajuan yang sangat observable, banyak pesantren di berbagai tempat, apakah wilayah urban, maupun pedesaan mempunyai gedung atau bangunan yang megah dan dan lebih penting lagi, sehat dan kondusif sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan yang baik. dengan demikian, citra yang pernah disandang pesantren sebagai kompleks bangunan yeng reot dan tidak higienis semakin memudar[20].
Tantangan di atas menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai di pesantren baik nilai yang menyangkut pengelolaan pendidikan, di samping itu pula pesantren  masih mempunyai beberapa kelemahan yang menjadi penghambat, adapun kelemahan-kelemahan tersebut adalah:
a.       Manajemen pengelolaan pondok pesantren
b.      Kaderisasi pondok pesantren
c.       Belum kuatnya budaya demokrasi dan disiplin, hal ini memang berkaitan erat dengan pondok pesantren yang independen
d.      Kebersihan di lingkungan pesantren[21].
Selain kelemahan-kelemahan di atas, yang menjadi penghambat yaitu:
a.       Sebagian masyarakat memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan kelas dua dan hanya belajar agama saja
b.      Terbatasnya tenaga yang berkualitaas, khususnya mata pelajaran umum
c.       Terbatasnya sarana yang memadai, baik sarana maupun ruang belajar
d.      Masih dominannya sikap-sikap menerima apa adanya dikalangan sebagian pesantren
e.       Sebagian pesantren masih bersifat ekslusif (Depag RI, 2003:19)[22].
Apabila mencari pendidikan yang asli Indonesia dan berakar dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas, namun ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisihkan berbagai masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan arus moden.
Seiring berjalannya waktu desakan dan hantaman justru masuk dari sisi yang lain, yaitu globalisasi. Banyak fenomena yang membuat lingkungan sekitar sangat merinding, fakta menggambarkan bahwa sudah terjadi pemelesetan tunas bangsa dari beberapa aspek lini kehidupan. Banyak generasi yang bercokol tidak sebagai generasi yang subur. Pun demikian banyak sekali komunitas terpelajar yang berujar; bahwa keharuman negeri itu bisa dilihat bagaimana putra-putri bangsa ini.Pesantren Harus Akomodatif.
Adalah sebuah keniscayaan apabila perubahan zaman dinafikan, sebab perubahan itu justru akan menampilkan ciri kepribadian dan pencintraan pesantren itu dapat dipegang dengan kuat. Pesantren secara historis mampu menjadi benteng pertahanan, oleh KH. M. Sya’roni Ahmadi, beliau menjabarkan, bahwa urgensi pesantren sangat berperan aktif dalam kerangka memperjuangkan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan. Kalau pesantren pada masa itu tidak memahami ahlussunnah wal jama’ah, tentu dapat kita gambarkan bagaimana agama yang akan dianut penduduk Indonesia secara mayoritas. Perlawanan ini tidaklah bermuara pada keterlibatan wawasan keagamaan saja, tetapi juga fisik dan mental untuk mengusir kaum penjajah yang selalu men-dzalimi bangsa Indonesia saat itu[23].
Bahkan sampai detik ini, pesantren tetap waspada dengan segala modernitas zaman, imperialisme budaya, deskontruksi moral, serta indikator lain yang begitu kuat merongrong dan mendesak budaya ketimuran secara hegemonik. Pesantren harus mampu menjadi muara peradilan agar tidak terseret kedalam arus itu, yang senantiasa menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Secara kontinyu pesantren harus membuktikan kesuksesanya untuk menjawab tantangan zaman. Mengenai bagaimana masa depan pesantren selanjutnya, tentu ia harus mampu menjadi  lembaga yang tanggap akan segala persoalan yang pluralistik tanpa menghilangkan jati dirinya. Masalah tersebut tampaknya harus diambil langkah kongkrit dengan sikapnya yang akomodatif. Artinya pesantren tidak hanya merem terhadap kemajuan dan perkembangan tekhnologi modern. Ia harus lebih intens dengan mengkaji agama sebagai rujukan.
6.      Format Pendidikan Pesantren di Masa Modern
Pesantren sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah orde baru, pembaruan pesantren pada masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan subtansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Selain itu juga, pembaruan pesantren ditekankan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai salah satu pusat penting  bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukan yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (peopole centered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development)[24].
Azyumardi dalam bukunya menyimpulkan bahwasanya respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung di masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup:
a.       Pembaruan subtansi atau isi pendidikan Islam dan vocational
b.      Pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan.
c.       Pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan
d.      Pembaruan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial-ekonomi[25].
Dengan demikian jelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan. Tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang diberikannya, pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri, dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.

D.    ANALISIS (Islamic Studies)
Pesantren dengan segala keunikan yang dimilikinya masih diharapkan menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekautan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral. Oleh sebab itu, arus globalisasi mengandaikan tuntutan profesionalisme dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu. Realitas inilah yang menuntut adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan sesuai tuntatan zaman. Signifikansi professionalisme manajemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan perkembangan teknologi modern.[26]
Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis, pesantren sebagaimana diistilahkan Gus Dur ‘sub kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial.[27] Dalam kaitannya dengan respon keilmuan pesantren terhadap dinamika modernitas, setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan. Keduanya merupakan upaya kultural keilmuan pesantren, sehingga peradigma keilmuannya tetap menemukan relevansinya dengan perkembangan kontemporer. Pertama, keilmuan pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Kedua, peantren dipandang sebagai lembaga pendidikan, maka kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika kekinian.[28] Sebab inilah, perlu dibangun manajemen pesantren yang lebih memberdayakan sumber daya manusia agar siap menghadapi gejala modernitas.
Dari pemaparan di atas, dapat dianalisis beberapa faktor yang dapat menyebabkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam masih memiliki kekurangan-kekurangan sebagai kelemahan yang  harus dilengkapi.
Adapun kelemahan utama pesantren adalah masih minimnya pengelolaan atau manajemen pesantren, sebagaimana mengutip Sayid Agil Siraj dalam makalah Moh. Mujib Zunun menyebutkan bahwa ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren.
Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini,pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafa yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umatIslam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam.Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi,mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta  sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimanabudaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharapmampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam ditengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupayamenyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi[29].
Muhammad Khafifi dalam makalahnya memperkuat bahwa terdapa beberapa kelemahan yang masih ada di pondok pesantren, yaitu:
1.      Pola kehidupannya mencontoh orang – orang tasauf, sehingga dalam pandangan kebanyakan orang, terlihat kumuh dan tidak terawat dengan baik serta kurangm memperhatikan unsure keduniawian.
2.      Kurangnya kemampuan dalam menalar, karena doktrin harus menghafal sehingga juga banyak yang kurang memahami pelajaran yang dihafalnya.
3.      Kurang mengikuti perkembangan kitab-kitab terbaru dengan problematika yang terjadi di masyarakat.
4.      Umumnya Pesantren tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang kegiatan belajar mengajar.
5.      Lebih dominant, karena memunculkan sikap otoriter, tidak proposional dalam pengelolaannya, tidak mudah menerima pembaharuan dari luar, dan terkesan eksklusif.
6.      Tidak semua pondok pesantren memiliki kualitas yang sama didalam mendidik santrinya.
7.      Fanatik terhadap salah satu pendapat (mdzhab) tertentu dengan tanpa mempelajari madzhab lainnya, sehingga kita tidak ada persoalan dalam masalah fiqih terjadi pertentangan dan saling menyalahkan[30].
Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren adalah al muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi denganmengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengancivic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, sertamampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harusdihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkanperkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsungmaupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren. Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukanpengembangannya, yaitu:
Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yangtradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yangmelahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurangmemadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera dibenahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dansehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatansumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadipertimbangan pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networkingmerupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaanakses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekalipesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antarpesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur pentingdalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi danteknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam prosespendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masihkurang terstruktur.
Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalumenjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitandengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitaskeseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalandalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar,bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan
Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalamankeagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yangsemakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yangbersifat keahlian[31].
Setelah penulis mengetahui dengan cara menganalisis beberapa faktor yang menyebabkan  kelemahan di pesantren, maka penulis memberikan kontribusi sebagai masukan atau dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk dijadikan  problem solving, di antaranya aitu:
1.         Pesantren tidak meninggalkan ciri khas lokal
2.         Pesantren juga harus merespon perkembangan zaman dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, dan transformatif, sehingga persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk yang menyebabkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat.
3.         Ketika banyak pesantren telah mengembangkan pendidikan umum yang komprehensif, kemudian sekarang mulai dikembangkan visi pesantren untuk mengarahkan bidikannya pada kebutuhan umat. Para kyai dan pengelola pesantren lainnya kemudian memasuki dunia agen perubahan social. Untuk kepentingan ini, maka pesantren yang mengembangkan agrobisnis juga memiliki asosiasi sebagai wadah untuk menyemaikan wawasan dan mengembangkan kesamaan visi tentang pesantren sebagai pusat pemberdayaan masyarakat[32].
4.         Dilakukan supervisi pada pondok pesantren
Teknik-teknik supervisi pada pondok pesantren tidak jauh berbeda dengan lingkungan-lingkungan sekolah departemen pendidikan nasional maupun pada madrasah-madrasah pada lingkungan departemen agama Republik Indonesia. Adapun teknik-teknik supervisi pada pondok pesantren antara lain adalah:
a.       Kunjungan Kelas
Kunjungan kelas adalah kunjungan yang dilakukan oleh pengawas terhadap kelas-kelas tertentu pada pondok pesantren yang telah diprogramkan untuk mendapatkan gambaran/ data tentang proses pelaksanaan pendidikan agama Islam pada pondok pesantren tersebut.
b.      Tes Dadakan
Teknis tes dadakan ini dapat dilakukan oleh pengawas terhadap siswa dengan tujuan untuk mengetahui pencapaian target kurikulum, daya serap santri sampai pada saat tes dilakukan. Hasil tes boleh boleh dikoreksi secara bersamaan antara pengawas dan ustadz.
c.       Konferensi Kasus
Konfrensi kasus merupakan salah satu teknik supervisi yang dapat dilakukan oleh pengawas/ustadz dan tenaga edukatif lainnya yang ada di pesantren.
d.      Observasi Dokumen
Observasi dokumen merupakan salah satu teknik supervisi yang dapat digunakan untuk meneliti atau mengamati segala macam dokumen yang relevan dengan bidang pengawasan.
e.       Wawancara dilakukan setelah kegiatan observasi dalam rangka penilaian dan pembinaan atau mencari titik temu dalam usaha pemecahan masalah yang kaitannya dengan teknis pendidikan dan teknis administrasi.
f.       Angket
Angket yaitu bentuk lain dari kegiatan supervisi dengan cara membuat format yang berisi sebagai pertanyaan dalam rangka menjaring data yang bersifat kualitatif dan memerlukan jawaban yang obyektif tentang pelaksanaan pendidikan di pondok pesantren
g.      Laporan Tertulis
Untuk mengatasi keterbatasan waktu, jumlah pengawas  dan lokasi/ kondisi daerah, maka laporan tertulis dapat di jadikan salah satu alternative pilihan dalam melaksanakan supervisi. Laporan dapat dibuat oleh guru secara obyektif dan diketahui oleh pimpinan  pondok pesantren yang bersangkutan[33].

E.     KESIMPULAN
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini tentua saja harus sadar bahwa penggiatan diri yang hanya pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai, maka dari itu pesantren harus proaktif dalam memberikan ruang bagi pembenahan dan pembaharuan sistem pendidikan pesantren dengan senantiasa harus selalu apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespon perkembangan dan pragmatisme budaya yang kian menggejala sehingga sangat diperlukan pembaharuan-pembaharuan yang harus dilakukan pesantren dalam menghadapi zaman modern, adapun pembaharuan-pembahuran tersebut bisa dilakukan pada:
e.     Pembaharuan Metode pembelajaran
f.     Pembaharuan Kurikulum
g.    Pembaharuan Evaluasi
h.    Pembaharuan Organisasi/ Manajemen
Tantangan tunggal pesantren di masa modern adalah adanya gesekan-gesekan globalisasi atau bisa disebut dengan tantangan modernisasi yang bersifat kompleks. Dalam menghadapi tantangan zaman, pesantren juga harus senantiasa memegang prinsip-prinsip pembaharuan yaitu: memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam, memiliki kebebasan yang terpimpin, berkemampuan mengatur diri sendiri, memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, menghormati orang tua dan guru, cinta kepada ilmu, mandiri, kesederhanaan.

F.     Rekomendasi
Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam menghadapi persaingan bisnis pendidikan yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya, tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas manajemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, salah satunya yaitu lulusannya tidak dapat mengaji. maka idealnya pesantren ke depan harus dapat mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya.
Pendidikan pesantren harus terus dipertahankan, khususnya pembelajaran kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai kegiatan belajar mengajar wajib bagi santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan ekstrakulikuler seperti kursus komputer, bahasa Inggris, skill lainnya dan pengadaan program paket A, B, dan C untuk mendapatkan ijazah formalnya atau dengan menjalin kerja sama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan, apabila ini terjadi, maka pesantren akan lebih banyak melahirkan cendikiawan-cendikiawan yang berbekal ilmu agama serta ilmu soial yang akan bermanfa’at, karena pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang unik dengan beberapa kelebihan yang dimilikinya dari pendidikan lain, adapun kelebihannya antara lain:
a.       Pesantren merupakan lembaga pendidikan tempat memperdalam ilmu agama islam, agar dapat melestraikan ilmu – ilmu tersebut dengan tujuan menjadi kader ulma’, pemimpin umat dan pemimpin Bangsa.
b.      Pesantren menggunakan sorogan dan halaqoh (ceramah) dengan metode tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan akan menghafal sekian banyak ayat, hadits, dan pelajaran-pelajaran lainnya di luar kepala.
c.       Dapat melestarikan kitab-kitab klasik tersebut, juga setidak-tidaknya mampu memahami bahasa aslinya (bhs Arab).
d.      Dapat menerima (ikhlas) dengan kekurangan sarana dan prasarana yang dimiliki pesantren serta semangat juang yang menggabu-gebu untuk menutupi kekurangan dan berusaha untuk mengatasinya, dan keberadaanya yang dibutuhkan masyarakat.
e.       Lebih memudahkan pengorganisasian dan dalam menata administrasinya.
f.       Pesantren juga sangat dibutuhkan oleh sebagian besar Bangsa Indonesia sebagai alternatif pendidikan yang diminatinya.
g.      Tradisi keagamaan pada pesantren terlihat sangat kuat dan tidak mudah untuk dimasuki oleh paham2 dari luar yang akan merusak sendi-sendi tradisi kegamaan tersebut[34].
Dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pesantren sebagai salah satu pendidikan yang unik khususnya di Indonesia, maka seyogyanya kita sebagai masyarakat harus senantiasa menjaga kelebihan-kelebihan yang telah dimiliki pesantren.













DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, 20077. Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Suka Press.
      
Assegaf, Rachman Abd. 2010. Pendidikan Islam Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.

Daulay, Putra Haidar. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media.

Khafifi, Muhammad. Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren, makalah

Koncara, Lusiandani, Eka. Konsep Pembaharuan Dalam Islam, Purwakarta. makalah

Maunah. 2009. Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan Hambatan Pendidikan Pesantren Di Masa Depan, Yogyakarta: Teras

______ 2009. Supervisi Pendidikan Islam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Teras

Nahrawi, Amirudin. 2008. Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Yogyakarta: Gama Media.

Rahardjo, Dawam. 1985. Pergulatan Dunia Pesantren Dari Bawah, Jakarta: P3M.

Roqib, Moh. 2009.  Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Sanaky, AH. Hujair. 2003. Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press.


http://www.scribd.com/doc/25136062/Makalah-Manajemen-Pesantren, diakses tgl 05-04-2012, Pukul  12.02 WIB.

http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=952, diakses tgl 05-04-2012, Pukul 15.49 WIB.




[1] Mahasiswi Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Prodi Pendidikan Agama Islam
[2] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia (Jakarta:Prenada Media, 2004) hal. 31
[3] Hujair, AH Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003) hal.4
[4] Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985)
[5] Roihan dalam Amirudin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: Gama Media, 2008) hal. 1
[6] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009) hal. 149
[7] Ibid., hal 150
[8] Ibid., hal 151
[9] makalah Eka Lusiandani Koncara, Konsep Pembaharuan Dalam Islam (Purwakarta) hal.2s
[10] Abd. Rachman Assegaf, Pendidikan Islam Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hal. 88
[11] Ibid., hal.88
[12] Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan Hambatan Pendidikan Pesantren Di Masa Depan (Yogyakarta:Teras, 2009) hal. 1
[13] Amirudin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: Gama Media, 2008) hal. 23
[14] Maunah, Tradisi Intelektual... hal 25-26
[15] Amirudin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan...... hal. 28
[16] Ibid., hal. 28
[17] Ibid., hal. 30
[18] Ibid., hal. 30-31
[19] Ibid., hal. 85-87
[20] Azyumardi, azra Pendidikan Islam Tradisi  Dan Modernisasi Menuju milenium Baru (Ciputat: PT Logos Wacana ilmu. 2000)
[21] Maunah, Tradisi Intelektual... hal 49
[22] Ibid., hal 49-50
[24] Azyumardi, azra Pendidikan Islam Tradisi  Dan Modernisasi Menuju milenium Baru (Ciputat: PT Logos Wacana ilmu. 2000), hal 105
[25] Ibid., hal 105
[26] Ibid., hal. 18
[27] Amin Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmplesitas Global. Jakarta: IRD Press., hal. 76
[28] Ibid., hal. 78-79
[29] http://www.scribd.com/doc/25136062/Makalah-Manajemen-Pesantren, diakses tgl 05-04-2012, Pukul  12.02 WIB.

[30] Diambil dari makalah Muhammad Khafifi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren

 

[31] Makalah Moh. Mujib Zunun, diakses dari http://www.scribd.com/doc/25136062/Makalah-Manajemen-Pesantren, tgl 05-04-2012, pukul 12.30 WIB
[32] http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=952, diakses tgl 05-04-2012, pukul 15.49 WIB
[33] Binti Maunah, Supervisi Pendidikan Islam Teori dan Praktek  (Yogyakarta: Teras, 2009) hal 270-273.

[34] Diambil dari makalah Muhammad Khafifi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar