PEMBAHARUAN PENDIDIKAN PESANTREN
DALAM MENGHADAPI TANTANGAN DAN
HAMBATAN
DI MASA MODERN
Oleh:
Yelis Nur Wahidah[1]
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan
untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia
baik yang berbentuk jasmani maupun rohani[2].
Pendidikan Islam disebut juga sebagai sistem dan cara meningkatkan kualitas
hidup manusia[3]. Pengertian
pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan
istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara
bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut
manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan
saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan
ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal.
Pesantern sebagai pendidikan nonformal adalah sebuah lembaga
pendidikan dan penyiaran agama Islam[4].
Pondok pesantren juga sebagai basis pendidikan yang tertua di Indonesia karena
sejalan dengan perjalanan penyebaran Islam di Indonesia, hal ini dibuktikan
dengan telah berdirinya pondok-pondok pesantren sejak abad ke-15, seperti
Pesantren Gelogah Arum yang didirikan oleh Raden Fatah pada tahun 1476 sampai
pada abad ke-19 dengan beberapa pondok-pondok pesantren yang dipimpin oleh para
wali, seperti Pesantren Sunan Malik Ibrahim di Gresik, Pesantren Sunan Bonang
di Tuban, Pesantren Sunan Ampel di Surabaya dan Pesantren Tegal Sari yang
terkemuka di Jawa[5].
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bersifat nonformal harus
mengadakan perubahan dan pembaharuan guna menghasilkan generasi-generasi yang
tangguh, generasi yang berpengetahuan luas dengan kekuatan jiwa pesantren dan
keteguhan mengembangkan pengetahuan yang tetap bersumber pada al-qur’an dan
hadis. Dalam perkembangan zaman, pesantren saat
ini berhadapan dengan arus globalisasi dan modernisasi yang ditandai dengan
cepatnya laju informasi dan teknologi. “Karena itu, pesantren harus melakukan
perubahan format, bentuk, orientasi dan metode pendidikan dengan catatan tidak
sampai merubah visi, misi dan orientasi pesantren itu, akan tetapi perubahan tersebut
hanya pada sisi luarnya saja, sementara pada sisi dalam masih tetap
dipertahankan.
Eksistensi pondok pesantren dalam menyikapi
perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen untuk tetap menyuguhkan pola
pendidikan yang mampu melahirkan SDM yang handal. Adapun yang melatar belakangi
penyusun untuk menyusun makalah ini adalah minimnya pengetahuan penyusun
tentang pembaharuan apa saja yang seharusnya dilakukan di pesantren dalam
menghadapi tantangan dan hambatan di masa modern, adapun salah satu
tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang dunia
pendidikan pesantren.
B.
PERMASALAHAN
1. Apa saja
prinsip-prinsip pembaharuan yang harus ditegakan pesantren dalam menghadapi
tantangan dan hambatan di era modern?
2. Bagaimana peta tantangan dan hambatan yang akan
dihadapi pesantren sebagai pendidikan Islam dalam menjawab tantangan modern?
C.
PEMBAHASAN
1.
Potret
Pendidikan Pesantren
Pesantren
yang diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini
masih eksis dan diakui keberadaannya di masayarakat, meskipun tidak jarang di
antara masyarakat membcarakan pengelolaan pendidikan pesantren yang masih
kurang.
Pengelolaan
pesantren yang apa adanya tersebut mudah dilihat dari kurikulum sebagai
pesantren yang belum dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi. Sebagai akibatnya, para alumni pesantren juga sering kali gagap
dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai contoh, tatkala ada sebagian alumni
pesantren yang menjadi tokoh masyarakat sebaga politisi, mereka seakan gagap
menghadapi perannya yang baru karena mereka memang belum atau bahkan tidak
mengetahui betul bagaimana “konstruksi polotik Islam” dan strategi berpolitik
yang disebut-sebut sebagai high politic. Hal tersebut terjadi karena
materi kajian yang diberikan di pesantren kurang dikontekstualkan dengan
perkembangan zaman seperti fih politik/fiqh as-siyasah belum diberikan
secara baik dan terstrukturkan dalam bangunan kurikulum pesantren[6].
Bukti
pengelolaan pesantren yang apa adanya adalah tenaga pengajar pesantren yang
belum dipersiapkan secra sistematis sebgai ustadz profesional yang menguasai maddah
dan sekaligus mampu mempraktikan metode (thariqah) pembelajaran yang
baik. Hal lain yang membuktikan lemahnya pengelolaan pesantren adalah jaringan
sebagian pesantren juga diakui lemah, baik jaringan dengan sesama pesantren,
masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah. komunikasi yang dilakukan pesantren
kurang intensif dan efektif. Hal lain yang bisa dijadikan bukti adalah
rendahnya pengelolaan pembelajaran di pesantren bisa dilihat dari terbatasnya
sarana dan prasarana yang dimilikinya. Padahal jika pesantren mampu meyakinkan stake
holder bahwa ia mampu menyiapkan santri yang berkualitas maka pesantren
tersebut akan mudah membangun jaringan yang kuat, yang memungkinkan
kebutuhannya akan sarana dan prasarana terpenuhi dengan baik. Hal ini sudah
terbukti di beberapa pesantren yang telah maju dan besar sehingga mereka mampu
menggalang dukungan dana dari masyarakat melalui waqaf dan lainnya[7].
Meski
banyak kelemahan yang dimiliki oleh pesantren, sebagian besar di antaranya
masih tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat muslim Indonesia, Terlebih
lagi pesantren yang memiliki figur kharismatik, mampu menjaga kualitas
keilmuannya, berkonsentrasi penuh terhadap perkembangan keilmuannya para
santri, dan mampu membangun komunikasi yang baik dengan komunitas sosial dan
pemerintah[8].
2.
Pengertian
Pembaharuan Pendidikan Islam
Secara
bahasa, kata tajdid berarti pembaharuan. Dalam
bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat
menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk
mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Dalam hal ini tajdid
adalah koreksi ulang atau konseptualisasi ulang pada hakikatnya selalu
berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran asal dan bukan
adopsi pemikiran asing, dalam pelaksanaannya diperlukan pemahaman yang dalam
akan paradigma dan pandangan hidup islam yang bersumber dari al-quran dan
sunnah, serta pendapat para ulama terdahulu yang secara ijma dianggap shahih.
Pembaharuan Islam bukanlah sesuatu yang evolusioner, melainkan lebih
cenderung devolusioner, dengan artian bahwa pembaharuan bukan merupakan
proses perkembangan bertahap di mana yang datang kemudian lebih baik dari
sebelumnya[9].
Harun
Nasution menyebut gerakan pembaharuan pemikiran Islam dengan istilah
modernisasi pemikiran Islam yang mempunyai arti, seperti dikutip Azyumardi Azra
sebagai suatu aliran, gerakan, pemikiran, dan usaha untuk mengubah paham, adat
istiadat agar semuanya disesuiakan dengan pendapat dan keadaan baru yang timbul
oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Adapun modernisasi
menurut KBBI, adalah suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga
masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini[10].
Berbeda dengan Harun Nasution, Maulana Maududi
menyebut pembaruan pemikiran Islam dengan istilah tajaddud-tajdid,
istilah tersebut diartikan sebagai suatu gerakan pemurnian yang merupakan
reaksi atas melemah dan membekunya karena ancaman dari luar, menurut Maulana
Maududi, suatu gerakan bisa disebut sebagai pembaruan jika:
a.
Merupakan
usaha perbaikan kondisi masyarakat dengan membersihkan penyakit yang
meracuninya
b.
Mencari
letak permasalahan untuk menyelesaikannya
c.
Identifikasi
kemampuan dirinya untuk melakukan pembaruan
d.
Upaya
menciptakan perombakan pandangan dan pola berpikir masyarakat ke arah yang
lebih baik.
e.
Upaya
perbaikan secara praksis
f.
Active dan responsive mengembangkan aplikasi Islam
g.
Merombak
secara Internasional[11].
Berdasarkan asumsi bahwa pembaruan pendidikan Islam bersumber dari
upaya pembaruan pemikiran Islam, maka pembaruan pendidikan Islam diartikan
sebagai pembaruan pemikiran yang dilakukan dalam bidang pemikiran maupun
praktek pendidikan Islam. Dengan makna ini, pendapat manapun mengenai pembaruan
pemikiran dapat disubtitutikan. Gerakan pembaruan pada dasarnya mengusung
nilai-nilai seperti: nilai pembaruan, nilai perjuangan, nilai kemerdekaan
pikiran agama dan pikiran, nilai persatuan dan solidaritas.
3.
Beberapa
Pembaharuan Pesantren
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, disinyalir sebagai
sistem pendidikan yang lahir dan tumbuh melalui kultur Indonesia yang bersifat
“indogenous”, yang mana telah mengadopsi model pendidikan sebelumnya
yaitu dari pendidikan Hindu dan Budha sebelum kedatangan Islam[12].
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki kekhasan, baik dari
segi sistem maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. perbedaan dari segi
sistem, terlihar dari proses belajar mengajar yang cenderung sederhana,
meskipun harus diakui ada juga pesantren yang memadukan sistem modern dalam
pembelajarannya[13].
Berdasarkan
tujuan pendiriannya, pesantren hadir dilandasi sekurang-kurangnya oleh dua
alasan: pertama, pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi
dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah pada runtuhnya sendi-sendi
moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar ma;ruf, nahyi munkar).
Kedua, salah satu tujuan pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran
tentang universalitas Islam ke seluruh plosok nusantara yang berwatak pluralis,
baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat[14].
Di
tengah kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren sebagai lembaga
pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini tentua saja harus sadar bahwa
penggiatan diri yang hanya pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai, maka dari
itu pesantren harus proaktif dalam memberikan ruang bagi pembenahan dan
pembaharuan sistem pendidikan pesantren dengan senantiasa harus selalu
apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespon perkembangan dan
pragmatisme budaya yang kian menggejala. Hal tersebut dapat dijadikan
pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren mensiasati fenomena tersebut
dengan beberapa perubahan pesantren di bawah ini
a.
Pembaharuan
Metode pembelajaran
Model
Pembelajaran pesantren pada mulanya populer menggunakan metodik-didaktif dalam
bentuk sorogan, bandongan, halaqah dah hafalan. Menurut Mastuhu (1989:
131), pembaharuan metode pembelajaran mulai terjadi sekitar awal abad ke-20
atau tepatnya sekitar tahun 1970-an,
dari pola sorogan berubah menjadi sistem klasikal, tidak hanya itu, beberapa
pendidikan keterampilan juga mulai masuk ke dunia pesantren, seperti bertani,
berternak, kerajinan tangan mulai akrab dikehidupan santri sehari-hari. ini
dimaksudkan untuk mengembangkan wawasan atau orientasi santri dari pandangan
hidup yang selalu berpandangan ukhrowi, supaya seimbang dengan kehidupan
duniawi[15].
b.
Pembaharuan
Kurikulum
Pada
umunya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, materi pembelajarannya lebih
mengutamakan pelajaran agama Islam yang bersumber dari kitab-kitab klasik,
seperti tauhid, hadis, tafsir, fiqih dan sejenisnya. Kurikulum didasarkan pada
tingkat kemudahan dan kompleksitas kitab-kitab yang dipelajari, mulai dari
tingkat awal, menengah dan lanjut[16].
Dalam
perkembangannya, hampir setiap pesantren telah melakukan pembaharuan kurikulum
dengan memasukkan pendidikan umum dalam kurikulum pesantren. Sifatnya
bervariasi, ada pesantren yang memasukan pendidikan 30% agama dan 70% umum,
adapula yang sebaliknya, yakni 80% agama dan sisanya pelajaran umum.
c.
Pembaharuan
Evaluasi
Kemampuan
santri biasanya dievaluasi dengan keberhasilannya mengajarkan kitab kepada
orang lain. Apabila audiensi merasa puas, maka santri yang bersangkutan dinilai
telah lulus. Legalisasi kelulusannya adalah restu kiai bahwa santri tersebut
diizinkan pindah untuk mempelajari kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya
dan boleh mengajarkan kitab yang dikuasainya kepada yang lain.
Pesantren
yang telah mengadopsi pembaruan kurikulum, baik yang mengacu pada Departemen
Agama maupun Departemen Pendidikan Nasional jelas telah meninggalkan model
evaluasi tersebut. Model madrasi/klasikal evaluasinya sebagaimana madrasah pada
umunya, yaitu menggunakan ujian resmi dengan memberikan angka-angka kelulusan
serta tanda kelulusan seperti ijazah[17].
d.
Pembaharuan
Organisasi/ Manajemen
Dalam
konteks pembaharuan manajemen, meskipun peran kiai tetap dipandang penting,
tetapi kiai tidak ditempatkan pada posisi penentu kebijakan secara tunggal. Dari
sini kerja dimulai dengan pembagian unit-unit kerja sesuai urutan yang
ditetapkan pimpinan pesantren. Ini berarti kekuasan kiai telah terdistrubusi
kepada yang lain yang dipercaya untuk mengemban tugas, mekanisme kerja juga
mulai diarahkan sesuai dengan visi dan misi pesantren. Berangkat dari hal
tersebut, terkadang tetap diakui bahwa pola perencanaan pesantren umunya masih
tergolong sederhana, seringkali program jangka pendek, menengah, dan jangka
penjang tampak tumpang tindih. Akibatnya, program-programn demikian sulit
diukur tingkat pencapainnaya[18].
4. Prinsip-Prinsip
Pembaharuan Yang Harus Ditegakan Pesantren
Proses globalisasi adalah suatu proses menuju
keadaan budaya global yang pasti setuju atau tidak setuju memasuki budaya
Indonesia yang pada akhirnya akan mengubah hal-hal yang mendasar dalam
pandangan hidup dan mencukupi seluruh aspek kehidupan. Berangkat dari hal
tersebut, KH. Ali Maksum menyatakan delapan prinsip-prinsip yang terlihat dan
harus diterapkan dalam pemharuan pendidikan pesantren, yaitu[19]:
a. Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam.
Para santri dibantu agar mampu memahami makna hidup, keberadaan, peranana,
serta tanggung jawabnya dalam kehidupan di masyarakat.
b. Memiliki kebebasan yang terpimpin. Setiap
manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dibatasi karena
kebebasan memiliki potensi anarkisme. Keterbatasan (ketidak bebasan) mengandung
kecenderungan mematikan kreativitas, berangkat dari hak tersebut, maka
pembatasan harus dibatasi. Inilah yang dimaksud kebebasan yang terpimpin, dan
kebebasan inilah yang dibentuk oleh K.H. Ali Maksum dalam mengasuh santrinya
c. Berkemampuan mengatur diri sendiri. Pada
umumnya santri harus dapat mengatur diri sendiri dan kehidupannya menuruti
batasan yang telah diajarkan agama.
d. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Dalam
hal kewajiban santri harus menunaikan kewajiban terlebih dahulu, sedangkan
dalam hak-hak, para santri harus mendahulukan kepentingan orang lain sebelum
kepentingan sendiri
e. Menghormati orang tua dan guru. Ini memang
ajaran Islam, tujuan ini dicapai antara lain melalui penegakan berbagai pranata
di pesantren seperti mencium tangan guru, tidak membantah guru. Demiian juga
terhadap orang tua, karena nilai-nilai ini sudah banyak terkikis di
sekolah-sekolah.
f. Cinta kepada ilmu. Menurut al-quran ilmu
(pengetahuan) datang dari Allah, banyak hadis yang yang mengajarkan pentingnya
menuntut ilmu dan menjaganya, maka dari itu para santri harus memandang ilmu
sebagai sesuatu yang suci dan tinggi.
g. Mandiri. Apabila mengatur diri sendiri kita
sebut otonomi, maka mandiri yang dimaksud adalah berdiri atas kekuasaan
sendiri, sejak awal santri telah dilatih untuk mandiri, sperti kebanyakan masak
sendiri, mengatur uang belanja sendiri, mencuci pakaian sendiri dan sebagainya.
h. Kesederhanaan. Dilihat secara lahiriah
sederhana memang mirip dengan kemiskinan, padahal yang dimaksud sederhana
contohnya di Pesantrern Krapyak adalah sikap hidup, yaitu sikap memandang sesuatu,
terutama materi secara wajar, proporsional dan fungsional. Sebenarnya banyak
para santri yang berlatar belakang orang kaya, mereka dilatih hidup sederhana.
Ternyata orang kaya tidak sulit menjalani kehidupan sederhana bila dilatih
seperti di kehidupan pesantren, apa yang melatih mereka? kondisi pesantren
itulah yang melatih mereka. Di sini kita melihat bahwa pesantren adalah suatu
sistem; yang kondisi itu merupakan salah satu elemennya. kesederhanaan itu
sesungguhnya realisasi keimanan dari ajaran Islam yang pada umunya telah
diajarkan para sufi. Hidup secara sufi memang merupakan suatu yang khas pada
umumnya.
5. Tantangan Dan Hambatan Pendidikan Pesantren Di
Era Modernitas
Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian
bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang
cenderung mengikuti pola ‘Barat’ yang modern, maka dari itu, lembaga pendidikan
pesantren sering dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas
Indonesia.
Tantangan dan harapan masyarakat akan adanya suatu pesantren yang
berkualitas semakin marak. Pesantren diharapkan memberi sesuatu dan
mereflesikan kebutuhan konsumen, namun harapan ini tidak mudah direalisasikan
dengan cepat karena peningkatan mutu pesantren lebih merupakan proses daripada
hanya kejadian seketika. Sebagai pendidikan alternatif, tantangan yang dihadapi
pesantren semakin hari semakin besar, kompleks dan mendesak, sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, perkembangan fisik bangunan pesantren juga mengalami
kemajuan-kemajuan yang sangat observable, banyak pesantren di berbagai
tempat, apakah wilayah urban, maupun pedesaan mempunyai gedung atau bangunan
yang megah dan dan lebih penting lagi, sehat dan kondusif sebagai tempat
berlangsungnya proses pendidikan yang baik. dengan demikian, citra yang pernah
disandang pesantren sebagai kompleks bangunan yeng reot dan tidak higienis
semakin memudar[20].
Tantangan di atas menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai di
pesantren baik nilai yang menyangkut pengelolaan pendidikan, di samping itu
pula pesantren masih mempunyai beberapa
kelemahan yang menjadi penghambat, adapun kelemahan-kelemahan tersebut adalah:
a.
Manajemen
pengelolaan pondok pesantren
b.
Kaderisasi
pondok pesantren
c.
Belum
kuatnya budaya demokrasi dan disiplin, hal ini memang berkaitan erat dengan
pondok pesantren yang independen
d.
Kebersihan
di lingkungan pesantren[21].
Selain kelemahan-kelemahan di atas, yang menjadi penghambat yaitu:
a.
Sebagian
masyarakat memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan kelas dua dan hanya
belajar agama saja
b.
Terbatasnya
tenaga yang berkualitaas, khususnya mata pelajaran umum
c.
Terbatasnya
sarana yang memadai, baik sarana maupun ruang belajar
d.
Masih
dominannya sikap-sikap menerima apa adanya dikalangan sebagian pesantren
e.
Sebagian
pesantren masih bersifat ekslusif (Depag RI, 2003:19)[22].
Apabila mencari pendidikan yang asli Indonesia dan berakar dalam
masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas, namun ironisnya
lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisihkan berbagai masalah
dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika
berhadapan dengan arus moden.
Seiring berjalannya waktu desakan dan
hantaman justru masuk dari sisi yang lain, yaitu globalisasi. Banyak fenomena
yang membuat lingkungan sekitar sangat merinding, fakta menggambarkan bahwa
sudah terjadi pemelesetan tunas bangsa dari beberapa aspek lini kehidupan.
Banyak generasi yang bercokol tidak sebagai generasi yang subur. Pun demikian
banyak sekali komunitas terpelajar yang berujar; bahwa keharuman negeri itu
bisa dilihat bagaimana putra-putri bangsa ini.Pesantren Harus Akomodatif.
Adalah sebuah keniscayaan apabila perubahan
zaman dinafikan, sebab perubahan itu justru akan menampilkan ciri kepribadian
dan pencintraan pesantren itu dapat dipegang dengan kuat. Pesantren secara
historis mampu menjadi benteng pertahanan, oleh KH. M. Sya’roni Ahmadi, beliau
menjabarkan, bahwa urgensi pesantren sangat berperan aktif dalam kerangka
memperjuangkan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan. Kalau pesantren pada
masa itu tidak memahami ahlussunnah wal jama’ah, tentu dapat kita gambarkan
bagaimana agama yang akan dianut penduduk Indonesia secara mayoritas.
Perlawanan ini tidaklah bermuara pada keterlibatan wawasan keagamaan saja,
tetapi juga fisik dan mental untuk mengusir kaum penjajah yang selalu
men-dzalimi bangsa Indonesia saat itu[23].
Bahkan sampai detik ini, pesantren tetap
waspada dengan segala modernitas zaman, imperialisme budaya, deskontruksi
moral, serta indikator lain yang begitu kuat merongrong dan mendesak budaya
ketimuran secara hegemonik. Pesantren harus mampu menjadi muara peradilan agar
tidak terseret kedalam arus itu, yang senantiasa menjebaknya dalam kehampaan
spiritual. Secara kontinyu pesantren harus membuktikan
kesuksesanya untuk menjawab tantangan zaman. Mengenai bagaimana masa depan pesantren
selanjutnya, tentu ia harus mampu menjadi lembaga yang tanggap akan
segala persoalan yang pluralistik tanpa menghilangkan jati dirinya. Masalah tersebut tampaknya harus diambil langkah kongkrit dengan
sikapnya yang akomodatif. Artinya pesantren tidak hanya merem terhadap kemajuan
dan perkembangan tekhnologi modern. Ia harus lebih intens dengan mengkaji agama
sebagai rujukan.
6.
Format
Pendidikan Pesantren di Masa Modern
Pesantren
sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah orde baru, pembaruan
pesantren pada masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan subtansi
pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman.
Selain itu juga, pembaruan pesantren ditekankan untuk fungsionalisasi pesantren
sebagai salah satu pusat penting bagi
pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukan yang
khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada
masyarakat itu sendiri (peopole centered development) dan sekaligus
sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented
development)[24].
Azyumardi
dalam bukunya menyimpulkan bahwasanya respon pesantren terhadap modernisasi
pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung di
masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup:
a.
Pembaruan
subtansi atau isi pendidikan Islam dan vocational
b.
Pembaruan
metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan.
c.
Pembaruan
kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan
d.
Pembaruan
fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial-ekonomi[25].
Dengan demikian jelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu
bertahan. Tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang
diberikannya, pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri, dan
bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem
pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.
D.
ANALISIS
(Islamic Studies)
Pesantren
dengan segala keunikan yang dimilikinya masih diharapkan menjadi penopang
berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. keaslian dan kekhasan pesantren
di samping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekautan
penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral.
Oleh sebab itu, arus globalisasi mengandaikan tuntutan profesionalisme dalam
mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu. Realitas inilah yang menuntut
adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan sesuai tuntatan zaman.
Signifikansi professionalisme manajemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan
di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan perkembangan teknologi modern.[26]
Dalam memahami
gejala modernitas yang kian dinamis, pesantren sebagaimana diistilahkan Gus Dur
‘sub kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai
lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang
bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial.[27]
Dalam kaitannya dengan respon keilmuan pesantren terhadap dinamika modernitas,
setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan. Keduanya merupakan
upaya kultural keilmuan pesantren, sehingga peradigma keilmuannya tetap
menemukan relevansinya dengan perkembangan kontemporer. Pertama, keilmuan
pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia
di dunia. Kedua, peantren dipandang sebagai lembaga pendidikan, maka
kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika
kekinian.[28]
Sebab inilah, perlu dibangun manajemen pesantren yang lebih memberdayakan
sumber daya manusia agar siap menghadapi gejala modernitas.
Dari pemaparan di atas, dapat dianalisis beberapa faktor yang dapat
menyebabkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam masih memiliki
kekurangan-kekurangan sebagai kelemahan yang
harus dilengkapi.
Adapun
kelemahan utama pesantren adalah masih minimnya pengelolaan atau manajemen
pesantren, sebagaimana mengutip Sayid Agil Siraj dalam makalah Moh. Mujib Zunun menyebutkan bahwa ada tiga
hal yang belum dikuatkan dalam pesantren.
Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara
sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan
semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini,pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafa
yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umatIslam agar kreatif-produktif,
dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam.Salah satu contoh para santri
masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi,mereka juga harus akrab
dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini,
bagaimanabudaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini,
pesantren diharapmampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat
Islam ditengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang
berupayamenyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi[29].
Muhammad Khafifi dalam
makalahnya memperkuat bahwa terdapa beberapa kelemahan yang masih ada di pondok
pesantren, yaitu:
1.
Pola kehidupannya
mencontoh orang – orang tasauf, sehingga dalam pandangan kebanyakan orang,
terlihat kumuh dan tidak terawat dengan baik serta kurangm memperhatikan unsure
keduniawian.
2.
Kurangnya kemampuan
dalam menalar, karena doktrin harus menghafal sehingga juga banyak yang kurang
memahami pelajaran yang dihafalnya.
3.
Kurang mengikuti
perkembangan kitab-kitab terbaru dengan problematika yang terjadi di
masyarakat.
4.
Umumnya Pesantren tidak
memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang kegiatan belajar
mengajar.
5.
Lebih dominant, karena
memunculkan sikap otoriter, tidak proposional dalam pengelolaannya, tidak mudah
menerima pembaharuan dari luar, dan terkesan eksklusif.
6.
Tidak semua pondok
pesantren memiliki kualitas yang sama didalam mendidik santrinya.
7.
Fanatik terhadap salah
satu pendapat (mdzhab) tertentu dengan tanpa mempelajari madzhab lainnya,
sehingga kita tidak ada persoalan dalam masalah fiqih terjadi pertentangan dan
saling menyalahkan[30].
Namun demikian, pesantren akan
tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak
manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren
adalah al muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al
jadid al ashlah, yaitu tetap
memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi denganmengambil hal-hal baru
yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengancivic values akan bisa
dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan
tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, sertamampu memberikan
kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).
Sebagai sebuah
lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan,
pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren
tidak terlepas dari adanya kendala yang harusdihadapinya. Apalagi belakangan
ini, dunia secara dinamis telah menunjukkanperkembangan dan perubahan secara
cepat, yang tentunya, baik secara langsungmaupun tidak langsung dapat berpengaruh
terhadap dunia pesantren. Terdapat
beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukanpengembangannya,
yaitu:
Pertama, image
pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yangtradisional, tidak modern,
informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yangmelahirkan terorisme,
telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia
pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera
mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
Kedua, sarana dan
prasarana penunjang yang terlihat masih kurangmemadai. Bukan saja dari segi
infrastruktur bangunan yang harus segera dibenahi, melainkan terdapat pula yang
masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri.
Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan
kebersahajaannya tampak masih memerlukan
tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dansehat yang
didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan
memadai.
Ketiga, sumber
daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat
diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat,
diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatansumber daya manusia
dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan
kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadipertimbangan pesantren.
Keempat,
aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networkingmerupakan salah
satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaanakses dan networking
dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekalipesantren-pesantren yang
berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antarpesantren besar dan
pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
Kelima, manajemen
kelembagaan. Manajemen merupakan unsur pentingdalam pengelolaan pesantren. Pada
saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional
apalagi dalam penguasaan informasi danteknologi yang masih belum optimal. Hal
tersebut dapat dilihat dalam prosespendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang
masihkurang terstruktur.
Keenam,
kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalumenjadi kendala dalam
melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitandengan kebutuhan pengembangan
pesantren maupun dalam proses aktivitaskeseharian pesantren. Tidak sedikit
proses pembangunan pesantren berjalandalam waktu lama yang hanya menunggu
sumbangan atau donasi dari pihak luar,bahkan harus melakukan penggalangan dana
di pinggir jalan
Ketujuh, kurikulum
yang berorientasi life skills santri
dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan
pengalamankeagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan
yangsemakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya
cukup dalam bidang keagamaan semata,
tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yangbersifat keahlian[31].
Setelah penulis
mengetahui dengan cara menganalisis beberapa faktor yang menyebabkan kelemahan di pesantren, maka penulis
memberikan kontribusi sebagai masukan atau dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan
untuk dijadikan problem solving,
di antaranya aitu:
1.
Pesantren
tidak meninggalkan ciri khas lokal
2.
Pesantren
juga harus merespon perkembangan zaman dengan cara-cara yang kreatif, inovatif,
dan transformatif, sehingga persoalan tantangan zaman modern yang secara
realitas seakan menciptakan segala produk yang menyebabkan tirai-tirai batas
ruang dan waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab
secara akurat, tuntas dan tepat.
3.
Ketika banyak pesantren telah mengembangkan
pendidikan umum yang komprehensif, kemudian sekarang mulai dikembangkan visi
pesantren untuk mengarahkan bidikannya pada kebutuhan umat. Para kyai dan
pengelola pesantren lainnya kemudian memasuki dunia agen perubahan social.
Untuk kepentingan ini, maka pesantren yang mengembangkan agrobisnis juga
memiliki asosiasi sebagai wadah untuk menyemaikan wawasan dan mengembangkan
kesamaan visi tentang pesantren sebagai pusat pemberdayaan masyarakat[32].
4.
Dilakukan
supervisi pada pondok pesantren
Teknik-teknik
supervisi pada pondok pesantren tidak jauh berbeda dengan lingkungan-lingkungan
sekolah departemen pendidikan nasional maupun pada madrasah-madrasah pada
lingkungan departemen agama Republik Indonesia. Adapun teknik-teknik supervisi
pada pondok pesantren antara lain adalah:
a.
Kunjungan
Kelas
Kunjungan kelas
adalah kunjungan yang dilakukan oleh pengawas terhadap kelas-kelas tertentu
pada pondok pesantren yang telah diprogramkan untuk mendapatkan gambaran/ data
tentang proses pelaksanaan pendidikan agama Islam pada pondok pesantren
tersebut.
b.
Tes
Dadakan
Teknis tes
dadakan ini dapat dilakukan oleh pengawas terhadap siswa dengan tujuan untuk
mengetahui pencapaian target kurikulum, daya serap santri sampai pada saat tes
dilakukan. Hasil tes boleh boleh dikoreksi secara bersamaan antara pengawas dan
ustadz.
c.
Konferensi
Kasus
Konfrensi kasus
merupakan salah satu teknik supervisi yang dapat dilakukan oleh pengawas/ustadz
dan tenaga edukatif lainnya yang ada di pesantren.
d.
Observasi
Dokumen
Observasi
dokumen merupakan salah satu teknik supervisi yang dapat digunakan untuk
meneliti atau mengamati segala macam dokumen yang relevan dengan bidang
pengawasan.
e.
Wawancara
dilakukan setelah kegiatan observasi dalam rangka penilaian dan pembinaan atau
mencari titik temu dalam usaha pemecahan masalah yang kaitannya dengan teknis
pendidikan dan teknis administrasi.
f.
Angket
Angket yaitu
bentuk lain dari kegiatan supervisi dengan cara membuat format yang berisi
sebagai pertanyaan dalam rangka menjaring data yang bersifat kualitatif dan
memerlukan jawaban yang obyektif tentang pelaksanaan pendidikan di pondok
pesantren
g.
Laporan
Tertulis
Untuk mengatasi
keterbatasan waktu, jumlah pengawas dan
lokasi/ kondisi daerah, maka laporan tertulis dapat di jadikan salah satu
alternative pilihan dalam melaksanakan supervisi. Laporan dapat dibuat oleh
guru secara obyektif dan diketahui oleh pimpinan pondok pesantren yang bersangkutan[33].
E.
KESIMPULAN
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini tentua saja
harus sadar bahwa penggiatan diri yang hanya pada wilayah keagamaan tidak lagi
memadai, maka dari itu pesantren harus proaktif dalam memberikan ruang bagi
pembenahan dan pembaharuan sistem pendidikan pesantren dengan senantiasa harus
selalu apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespon perkembangan
dan pragmatisme budaya yang kian menggejala sehingga sangat diperlukan
pembaharuan-pembaharuan yang harus dilakukan pesantren dalam menghadapi zaman
modern, adapun pembaharuan-pembahuran tersebut bisa dilakukan pada:
e.
Pembaharuan
Metode pembelajaran
f.
Pembaharuan
Kurikulum
g.
Pembaharuan
Evaluasi
h.
Pembaharuan
Organisasi/ Manajemen
Tantangan
tunggal pesantren di masa modern adalah adanya gesekan-gesekan globalisasi atau
bisa disebut dengan tantangan modernisasi yang bersifat kompleks. Dalam
menghadapi tantangan zaman, pesantren juga harus senantiasa memegang
prinsip-prinsip pembaharuan yaitu: memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam, memiliki kebebasan yang terpimpin, berkemampuan mengatur diri sendiri, memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, menghormati orang tua dan guru, cinta kepada ilmu, mandiri, kesederhanaan.
F.
Rekomendasi
Berangkat
dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah,
menata diri dalam menghadapi persaingan bisnis pendidikan yang telah dilakukan
oleh Muhammadiyah dan lainnya, tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud
hanya sebatas manajemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah
ke mu’asyir (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan
nilai-nilai positif pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, salah satunya
yaitu lulusannya tidak dapat mengaji. maka idealnya pesantren ke depan harus
dapat mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai
kesalafannya.
Pendidikan
pesantren harus terus dipertahankan, khususnya pembelajaran kitab kuning dari
Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai kegiatan belajar mengajar wajib bagi santri
dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan ekstrakulikuler seperti
kursus komputer, bahasa Inggris, skill lainnya dan pengadaan program paket A,
B, dan C untuk mendapatkan ijazah formalnya atau dengan menjalin kerja sama
dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan, apabila ini terjadi, maka
pesantren akan lebih banyak melahirkan cendikiawan-cendikiawan yang berbekal
ilmu agama serta ilmu soial yang akan bermanfa’at, karena pendidikan pesantren
merupakan pendidikan yang unik dengan beberapa kelebihan yang dimilikinya dari
pendidikan lain, adapun kelebihannya antara lain:
a.
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan tempat memperdalam ilmu agama islam, agar dapat
melestraikan ilmu – ilmu tersebut dengan tujuan menjadi kader ulma’, pemimpin
umat dan pemimpin Bangsa.
b.
Pesantren
menggunakan sorogan dan halaqoh (ceramah) dengan metode tersebut menyimpulkan
bahwa kemampuan akan menghafal sekian banyak ayat, hadits, dan
pelajaran-pelajaran lainnya di luar kepala.
c.
Dapat
melestarikan kitab-kitab klasik tersebut, juga setidak-tidaknya mampu memahami
bahasa aslinya (bhs Arab).
d.
Dapat
menerima (ikhlas) dengan kekurangan sarana dan prasarana yang dimiliki
pesantren serta semangat juang yang menggabu-gebu untuk menutupi kekurangan dan
berusaha untuk mengatasinya, dan keberadaanya yang dibutuhkan masyarakat.
e.
Lebih
memudahkan pengorganisasian dan dalam menata administrasinya.
f.
Pesantren
juga sangat dibutuhkan oleh sebagian besar Bangsa Indonesia sebagai alternatif
pendidikan yang diminatinya.
g.
Tradisi
keagamaan pada pesantren terlihat sangat kuat dan tidak mudah untuk dimasuki
oleh paham2 dari luar yang akan merusak sendi-sendi tradisi kegamaan tersebut[34].
Dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pesantren sebagai salah
satu pendidikan yang unik khususnya di Indonesia, maka seyogyanya kita sebagai
masyarakat harus senantiasa menjaga kelebihan-kelebihan yang telah dimiliki
pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin, 20077. Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi,
Yogyakarta: Suka Press.
Assegaf,
Rachman Abd. 2010. Pendidikan Islam Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azra,
Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.
Daulay,
Putra Haidar. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media.
Khafifi, Muhammad. Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren, makalah
Koncara,
Lusiandani, Eka. Konsep Pembaharuan Dalam Islam, Purwakarta. makalah
Maunah.
2009. Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan Hambatan Pendidikan
Pesantren Di Masa Depan, Yogyakarta: Teras
______
2009. Supervisi Pendidikan Islam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Teras
Nahrawi,
Amirudin. 2008. Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Yogyakarta: Gama
Media.
Rahardjo, Dawam. 1985. Pergulatan Dunia Pesantren Dari Bawah,
Jakarta: P3M.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu
Pendidikan Islam, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Sanaky,
AH. Hujair. 2003. Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press.
http://www.arwaniyyah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:pesantren-dan-tantangan-zaman&catid=40:artikel-lepas&Itemid=54.
diakses tgl 04-04-2012, Pukul 13.57 WIB.
http://www.scribd.com/doc/25136062/Makalah-Manajemen-Pesantren,
diakses tgl 05-04-2012, Pukul 12.02 WIB.
http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=952,
diakses tgl 05-04-2012, Pukul 15.49 WIB.
[2]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di
Indonesia (Jakarta:Prenada Media, 2004) hal. 31
[3]
Hujair, AH Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani
Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003) hal.4
[4]
Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Dari Bawah (Jakarta: P3M,
1985)
[5]
Roihan dalam Amirudin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Yogyakarta:
Gama Media, 2008) hal. 1
[6]
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009)
hal. 149
[7]
Ibid., hal 150
[8]
Ibid., hal 151
[9]
makalah Eka Lusiandani Koncara, Konsep Pembaharuan Dalam Islam (Purwakarta)
hal.2s
[10]
Abd. Rachman Assegaf, Pendidikan Islam Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010) hal. 88
[11]
Ibid., hal.88
[12]
Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan Hambatan Pendidikan
Pesantren Di Masa Depan (Yogyakarta:Teras, 2009) hal. 1
[13]
Amirudin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: Gama
Media, 2008) hal. 23
[14]
Maunah, Tradisi Intelektual... hal 25-26
[15]
Amirudin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan...... hal. 28
[16]
Ibid., hal. 28
[17]
Ibid., hal. 30
[18]
Ibid., hal. 30-31
[19]
Ibid., hal. 85-87
[20]
Azyumardi, azra Pendidikan Islam Tradisi
Dan Modernisasi Menuju milenium Baru (Ciputat: PT Logos Wacana ilmu.
2000)
[21]
Maunah, Tradisi Intelektual... hal 49
[22]
Ibid., hal 49-50
[23]http://www.arwaniyyah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:pesantren-dan-tantangan-zaman&catid=40:artikel-lepas&Itemid=54.
diakses tgl 04-04-2012, jam 13.57
[24]
Azyumardi, azra Pendidikan Islam Tradisi
Dan Modernisasi Menuju milenium Baru (Ciputat: PT Logos Wacana ilmu.
2000), hal 105
[25]
Ibid., hal 105
[26] Ibid.,
hal. 18
[27]
Amin Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kmplesitas Global. Jakarta: IRD Press., hal. 76
[28] Ibid.,
hal. 78-79
[29] http://www.scribd.com/doc/25136062/Makalah-Manajemen-Pesantren,
diakses tgl 05-04-2012, Pukul 12.02 WIB.
[30] Diambil dari makalah Muhammad Khafifi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren
[31]
Makalah Moh. Mujib Zunun, diakses
dari http://www.scribd.com/doc/25136062/Makalah-Manajemen-Pesantren,
tgl 05-04-2012, pukul 12.30 WIB
[32] http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=952,
diakses tgl 05-04-2012, pukul 15.49 WIB
[33]
Binti Maunah, Supervisi Pendidikan Islam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Teras, 2009) hal 270-273.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar