Standardisasi
Pesantren
I.
PENDAHULIAN
Pondok Pesanteren mempunyai peran
penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di Indonesia ini, peran pesantren
tidak bisa diabaikan begitu saja, benih-benih pesantren sudah ada jauh sebelum
Indonesia merdeka. Bisa dikatakan bahwa pendidikan pesantrenlah yang cocok
dengan kultur dan budaya Indonesia.
Pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar
500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami
banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada
zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran
agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua
peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak
dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah 1999:149). Selanjutnya,
pondok pesantren berperan dalam pembentukan karakter bangsa,
membentuk peribadi muslim yang agamis dan berakhlq. Meskipun telah ikut andil
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan
Indonesia Pesantren dan lulusannya terganjal dalam urusan birokrasi ketika
lulusannya mencari pekerjaan, Belum diakuinya keilmuan dan ijazah pesantren
menjadi alasan sulitnya mendapatkan pekerjaan, padahal secara keilmuan lulusan
pesantren sangat kompeten hanya saja terkendala pengakuan diatas kertas.
Tahun 2011 kementrian Agama mewacanakan
standardisasi pesantren, hal ini dilakukan sebagai upaya menghapus diskriminasi
dengan menerbitkan PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan. Hanya saja persoalannya, implementasi PP tersebut perlu
disempurnakan agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren,
Standardisasi dimaksudkan agar adanya
penyetaraan antara pesantren dan adanya pengakuan keilmuan lulusan pesantren,
sehingga lulusan mendapatkan ijazah yang melegalitas keilmuannya. Ini
dimaksudkan menghapus diskriminatif yang dirasakan oleh pesantren-perantren di
Indonesia, terlebih pesantren yang berasaskan shalafi.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren,
harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai
untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal
dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal
dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat
tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama
tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip
dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka
yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan
Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di
Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70).
Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan
jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang
diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok
pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) .
B. Unsur-unsur
Pesantren
Pesantren memiliki beberapa unsur yang harus ada si
salamnya, unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan
kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan
sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
a.Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan,
perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang
paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren
banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa,
serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab
dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).
Istilah
kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek,
1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar
yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan
kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang
tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli
agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar
kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).
b.Masjid:
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat
dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin
selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat
lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik,
dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat
penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai
“tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek
sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama
didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah
masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
c.Santri:
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam
perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap
membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari
seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang
alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap
untuk pondoknya.
Santri
biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim.
Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi
pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di
pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren
jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera
atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari
daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah
pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus
penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri
tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat
sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah,
1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya
pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok
yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa
memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan
dengan asrama santri laki-laki.
Komplek
sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah
kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin,
koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan
pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang
bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah
satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri
adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan
kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat
dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan
diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem
asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem
pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem
pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan
di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).
e.Kitab-Kitab
Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama
terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam
dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering
disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan
berwarna kuning.
Menurut Dhofier (1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam
lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil
pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam
pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi
kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang
sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan
tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan
(Hasbullah, 1999:144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan
dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi);
2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8.
cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat
digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat
dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada
umumnya sama (Dhofier 1985:51).
C. Tripologi
Pesantren
Seiring degan laju perkembangan masyarakat maka
pendidikan pesantren baik tempat bentuk hingga substansi telah jauh mengalami
perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan
seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dgn
pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut
Yacub yg dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasa ada beberapa pembagian pondok
pesantren dan tipologi yaitu :
1) Pesantren
Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran degan kitab-kitab
klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana
yg lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu degan metode sorogan dan weton.
2) Pesantren
Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi)
memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan
keterampilan.
3) Pesantren
Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik
beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri
dari siswa sekolah yg dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren
kilat.
4) Pesantren
terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional
atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja degan
program yg terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak
putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)
Sedangkan
menurut Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1) Pesantren
yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yg diajarkan
dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa
arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren
model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di
Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang Jawa
tengah dan lain-lain.
2) Pesantren
yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun degan kurikulum yang
disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yg ditetapkan
pemerintah secara nasional sehingga ijazah yg dikeluarkan tak mendapatkan
pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3) Pesantren
yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah
umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di
bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yg sampai Perguruan Tinggi
yg tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga
fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adl
contohnya.
4) Pesantren
yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah
atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model
ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua
santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yg terbanyak jumlahnya.
(2002:149-150)
D. Standarisasi
Pesantren
Gus Dur
(Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan sebuah
subkultur dengan syarat: pertama, pola kepemimpinan pondok
pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara; kedua, kitab-kitab
rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dalam bentuk kitab
kuning; dan ketiga, sistem nilai (value system)
yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Bermodalkan
ketiga elemen itulah, maka pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kehidupan masyarakat Indonesia, dan sekaligus sebagai salah satu
penopang pilar utama pendidikan di bumi Nusantara ini. Sebab, pondok pesantren
telah membuktikan dirinya diterima ditengah-tengah masyarakat dan kyainya
menjadi panutan. Fenomena ini telah menunjukkan bahwa puluhan ribu bahkan
ratusan lebih orang Indonesia yang ikut merasakan pola pembelajaran pondok
pesantren.
Perjalanan
sejarah pesantren terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman
dan perkembangan modern. Dalam proses perubahan dan perkembangan tersebut,
pesantren masih tetap eksis dan survive dengan mainstream indigenous
(wajah keasliannya). Sebab, pesantren dengan pola pikir khasnya yang
dikembangkan selama ini adalah: “al-muhâfazhah ‘ala al-qadîmi ash-shâlih
wa al-ahdzu bi al-jadîd al-ashlah” (memelihara hal/tradisi/pemikiran
yang baik dan mengambil hal/tradisi/pemikiran baru yang lebih baik).
Bersandikan
pada kaidah ushuliyah seperti itu, menempatkan posisi pesantren pada dua fungsi
ganda, yaitu: sebagai pewarisan budaya (agent of conservative),
dan sekaligus sebagai agen perubahan (agent of change). Sebagai
agen pewarisan budaya (agent of conservative), maka melalui
pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan norma-norma, serta
adat-kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya
diwariskan pada suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan cara ini,
kebudayaan dapat dilestarikan, meskipun warga suatu masyarakat berganti-ganti,
sedangkan kebudayaan dan sistem sosialnya tetap berlaku. Di pihak lalin,
lembaga pendidikan pesantren berperan sebagai agen perubahan (agent of
channge), yaitu adanya upaya untuk membuang unsur budaya lama yang
dipandang tidak cocok lagi dan perlunya memasukkan unsur budaya baru.
Atas dasar
itulah, ketika Kementerian Agama Republik Indonesia berencana mengkaji
standarisasi pendidikan pesantren sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama
Suryadarma Ali dalam kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasin,
Kraton Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 24 Januari 2010 yang lalu, kalangan
pesantren sudah merasa siap dengan rencana perubahan kurikulum tersebut. Sebab,
dengan bersandikan kaidah ushuliyah di atas, kurikulum pendidikan pesantren
sudah sangat siap dengan perubahan sistem pendidikan menuju standarisasi
pendidikan pesantren.
Bagi
kalangan pesantren, standarisasi pendidikan pesantren tidak hanya sebatas
adanya pengakuan legal formal dari Pemerintah terhadap lulusan pesantren.
Sebab, pada prinsipnya alumni pesantren “kurang” membutuhkan legal formal
seperti itu. Tanpa legal formal dari Pemerintah pun, para lulusan pesantren
sudah eksis ditengah-tengah masyarakat dan bahkan diakui keberadaannya. Di
samping itu, orientasi para santri dalam memasuki pendidikan pesantren tidak
berorientasi pada perolehan legal formal berupa ijazah sebagaimana halnya
lembaga pendidikan formal sekolah. Kebutuhan pesantren yang paling utama saat
ini adalah bagaimana Pemerintah secara formal mengakui Pondok Pesantren sebagai
sub sistem Pendidikan Nasional, sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap
pesantren, baik dalam penetapam anggaran melalui APBN maupun APBD, pengakuan
formal ijazah pesantren, dan menjadikan sistem pendidikan pesantren sebagai
salah satu tolok ukur pencapaian tujuan Pendidikan Nasional, terutama
untuk mengevaluasi pencapaian tujuan iman dan taqwa.
Upaya
menghapus diskriminasi tersebut sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan
menerbitkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan. Hanya saja persoalannya, implementasi PP tersebut perlu
disempurnakan, agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren. Misalnya,
saat ini beberapa pesantren telah mengikuti Wajar Dikdas dengan keharusan pihak
pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan Pendidikan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Sayangnya,
pihak Diknas mengatur bahwa muatan wajib tersebut diselenggarakan secara
terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di
pesantren, termasuk ijazah Wajar Dikdas yang pemerintah terbitkan, di samping
ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. Pertanyaan beberapa pondok
pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa
pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren
saja?
Sedangkan
pada pendidikan diniyah tingkat menengah, sampai saat ini pemerintah mempunyai
kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas
(pengakuan/persamaan) tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri. Jadi, pemerintah
menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren
menganggap model legalitas pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah
ini lebih mendekati rasa keadilan.
Keinginan
Departemen/Kementerian Agama yang akan melakukan standarisasi pendidikan
pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan kualitas dan
persamaan hak. Dengan demikian, standarisasi tersebut memberikan jaminan atas
keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan
struktural.
Standarisasi
pendidikan pesantren dimaksudkan oleh Departemen Agama dilakukan karena selama
ini belum ada aturan baku yang bisa dijadikan acuan sistem pendidikan pesantren
tersebut. “Ini mencari solusi agar lulusan pesantren, terutama salafiyah, bisa
mendapatkan pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar Menteri Agama
Suryadharma Ali dalam kunjungan kerja ke
Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini, Kraton, Pasuruan, Jawa Timur. Demikian
keterangan pers dari Humas Departemen Agama, Sabtu (24/1/2010).
Menteri
menyampaikan hal itu menanggapi aspirasi alim-ulama, pengelola, dan pengasuh
pesantren salafiyah yang sering terkendala masalah administrasi pendidikan,
seperti ketiadaan ijazah bagi para alumni. “Sistem pendidikan pesantren,
terutama salafiyah, memiliki keunggulan dalam penguasaan pengetahuan agama yang
spesfik semisal tafsir, hadis, fikih, dan sebagainya. Apalagi, para santri
keluaran pesantren unggul dalam peran-peran kemasyarakatan (social building).
Karena itu, sayang kalau mereka belum mendapat pengakuan legal-formal dari
pemerintah,” ujar SDA. SDA menjelaskan, kini jumlah pesantren terus meningkat,
bahkan mencapai angka 23.000 unit di seluruh penjuru Tanah Air.
Sementara
itu, menurut KH Abdul Mujib Imron mewakili para pengasuh pesantren salafiyah,
pihaknya sering menjadi tempat mengadu para santri alumni. “Upaya mereka
bertahun-tahun menimba ilmu seakan-akan menjadi sia-sia hanya karena beberapa
lembar kertas. Karena tak punya ijazah sebagai pengakuan pemerintah, mereka
sulit mendapat akses ke dunia kerja,” katanya.
Para
alumnus ponpes ini pun kesulitan saat memasuki dunia politik, untuk menjadi
kepala desa atau lurah saja tidak bisa. Apalagi mencalonkan diri menjadi
legislator atau kepala daerah. “Padahal secara kualitas, alumni kami tak kalah
bersaing dengan alumni lembaga pendidikan umum,” ujarnya.
Menjawab
aspirasi tersebut, SDA mengatakan, Depag sedang mengupayakan standarisasi
pendidikan pesantren. Dia menuturkan, sejauh ini Depag sudah mulai memetakan
persoalan yang sudah berlangsung sejak lama itu. Di tempat yang sama, Direktur
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag Chairul Fuad Yusuf menyebutkan,
berencana menyiapkan tim untuk mengkaji standarisasi itu. ”Kita mulai
siapkan semacam tim. Mereka akan segera bekerja dan melakukan kajian mendalam.
Mudah-mudahan tahun depan (2011) atau paling lambat 2012 sudah bisa
diterapkan,” ucapnya.
Standarisasi
pendidikan pesantren yang direncanakan pemerintah mendapat tanggapan kritis
dari Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah
Nahdlatul Ulama (RMI-NU). Wakil Sekretaris Pengurus Pusat RMI, HM Sulthan
Fatoni, mengatakan, upaya itu harus melalui kajian yang melibatkan pesantren.
Jika tidak, bisa jadi standarisasi itu akan mengarah pada pendangkalan.
“Keterlibatan pesantren penting agar kebijakan yang diambil pemerintah sesuai
kebutuhan masyarakat pesantren dan tidak malah mengarah pada pendangkalan,”
katanya di Jakarta, Senin (25/1).
Upaya
menghapus diskriminasi tersebut juga sebenarnya telah dilakukan pemerintah
dengan menerbitkan PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan. “Masalahnya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan agar tidak
mengganggu kekhasan pendidikan pesantren,” katanya. Ia mencontohkan, saat
ini beberapa pesantren telah mengikuti wajar Dikdas dengan keharusan pihak
pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan pendidikan kewarganegaraan,
bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
Sayangnya,
pihak Departemen Pendidikan Nasional mengatur bahwa muatan wajib tersebut
diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum
pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah wajar Dikdas yang Pemerintah
terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. “Pertanyaan
beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di
pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang
diterbitkan pesantren saja?”.
Pada
pendidikan diniyah tingkat menengah (wustha’), sampai saat ini pemerintah
memiliki kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan
legalitas tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri, jadi Pemerintah menganggap
cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren menganggap
model legalitas pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah lebih mendekati
rasa keadilan. Keinginan Departemen Agama yang akan melakukan standardisasi
pendidikan pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan
kualitas, dan persamaan hak. Dengan demikian standardisasi tersebut
memberikan jaminan atas keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak
adanya proses pendangkalan struktural.
Pesantren
saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan pendidikan
nasional. Pengakuan ini sebenarnya cukup menggembirakan bagi kalangan pesantren
yang sebelumnya dianaktirikan. Dukungan pendanaan dari pemerintah juga semakin
besar bagi pesantren yang memungkinkannya untuk terus berkembang. Namun adanya
Peraturan Pemerintah (PP) PP No 55/2007 sebagai penjabaran UU Sistem Pendidikan
Nasional dikhawatirkan akan menjebak pesantren pada standarisasi dan reduksi
pengajaran agama.
PP
tersebut memungkinkan pemerintah atau lembaga mandiri yang berwenang untuk
melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Isi SNP tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi
lulusan, standar pendidikan dan tenaga pendidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Keadaan ini dalam jangka panjang akan mengancam eksistensi, karakter dan ciri
khas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan keilmuan dan
nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin), sebagai kontrol sosial dan sebagai
agen pengembangan masyarakat.
PP ini
hanya cocok untuk sekolah formal sedangkan pendidikan informal dan non formal
perlu dibuatkan aturan tersendiri. PP ini sangat besar kemungkinannya akan
menempatkan pesantren sebagai lembaga yang harus ditertibkan. Aturan seperti
ini akan membunuh dengan adanya standar nasional dan Ujian Nasional (UN).
Ukuran-ukuran seperti ini dianggapnya terlalu menyederhanakan dan tidak akan
mampu menghadapi kompleksitas permasalahan di pesantren. Kehawatirkan sebagian
kalangan pesantren tentang rencana standarisasi pendidikan pesantren adalah
adanya reduksi pengajaran agama.
Dengan
terbitnya PP ini, pemerintah dinilainya juga abai mempertimbangkan aspek budi
pekerti yang harus dimiliki para siswa. Jika terjadi penurunan nilai moral,
maka bukan semata kesalahan orang tua, tapi kesalahan pemerintah yang tidak
bijak dalam mengelola pendidikan.
Di
pesantren, anak didik sangat ditekankan pada nilai-nilai moralitas seperti
keikhlasan dan spiritualitas yang tidak bisa dengan mudah diukur dengan standar
yang dibuat dalam PP tersebut. Apa yang ada di pesantren seperti keikhlasan dan
spiritualitas mendorong kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jiwa
keikhlasan sudah menjadi tuntunan.
Ini
berbeda sekali dengan sistem boarding school, meskipun sama-sama
diasramakan layaknya pesantren, motif dan tujuan pembelajarannya sangat
berlainan sehingga bisa distandarkan dengan PP tersebut. Diakuinya saat
ini memang terjadi perubahan kebijakan terhadap orang-orang yang akan duduk
dalam jabatan publik seperti perlunya persyaratan ijazah bagi politisi, lurah,
bupati dan lainnya. Pesantren dalam hal ini juga harus luwes dan mampu
mengakomodasi kepentingan santri yang berminat meniti karir di sektor publik.
Meskipun begitu, ciri khas pesantren tak boleh dihilangkan. Kita harus bebas
intervensi dari siapa pun. Sebab pesantren telah memberikan sumbangan yang
besar dalam pelayanan publik.
III.
PENUTUP
Dari pemaparan diatas nampak jelas bahwa
melalui Kementrian Agama dibawah Menteri Suryadarma Ali berusaha untuk
memajukan Pesantren-pesantren yang selama ini kurang tergarap dan terabaikan,
yang ternyata justru pesantrenlah pencetak manusia yang berakhlaq dan
berkarakter, nilai-nilai moral biasa dimasukkan dalam kurikulum pesantren.
Adanya wacana standardisasi pesantren
member angin segar bagi lulusan pesantren, terhapusnya diskriminatif, dan
adanya pengakuan ijazah pesantren akan memudahkan lulusan pesantren untuk
terjun dalam dunia politik, masuk ke perguruan tinggi negeri danbisa bersaing
masuk dalam bursa lapangan pekerjaa. Walaupun dalam implementasinya kebijakan
ini terganjal dengan kebijakan-kebijakan yang lain.
DATAR PUSTAKA
http://blog.re.or/untawijaya.htm
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta:
LeKDiS. 2005.
Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Utawijaya.
2011. “Rancangan Kurikulum Syumuliyah/Terpadu Pendidikan Pondok Pesantren
Salafiyah Berstandar Nasional”. Majalah Media Pembinaan, No. 03/XXXVIII/Juni
2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar