Jumat, 15 Februari 2013

standardisasi pesantren

Standardisasi Pesantren
I.                   PENDAHULIAN
Pondok Pesanteren mempunyai peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di Indonesia ini, peran pesantren tidak bisa diabaikan begitu saja, benih-benih pesantren sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Bisa dikatakan bahwa pendidikan pesantrenlah yang cocok dengan kultur dan budaya Indonesia.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah 1999:149). Selanjutnya, pondok pesantren berperan dalam pembentukan karakter bangsa, membentuk peribadi muslim yang agamis dan berakhlq. Meskipun telah ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia Pesantren dan lulusannya terganjal dalam urusan birokrasi ketika lulusannya mencari pekerjaan, Belum diakuinya keilmuan dan ijazah pesantren menjadi alasan sulitnya mendapatkan pekerjaan, padahal secara keilmuan lulusan pesantren sangat kompeten hanya saja terkendala pengakuan diatas kertas.
Tahun 2011 kementrian Agama mewacanakan standardisasi pesantren, hal ini dilakukan sebagai upaya menghapus diskriminasi dengan menerbitkan PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Hanya saja persoalannya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren,
Standardisasi dimaksudkan agar adanya penyetaraan antara pesantren dan adanya pengakuan keilmuan lulusan pesantren, sehingga lulusan mendapatkan ijazah yang melegalitas keilmuannya. Ini dimaksudkan menghapus diskriminatif yang dirasakan oleh pesantren-perantren di Indonesia, terlebih pesantren yang berasaskan shalafi.


II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi.  Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) .
B.     Unsur-unsur Pesantren
Pesantren memiliki beberapa unsur yang harus ada si salamnya, unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

a.Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).

b.Masjid:
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.

c.Santri:
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.

Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).

e.Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier (1985:50),  “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).

C.     Tripologi Pesantren
Seiring degan laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dgn pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub yg dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasa ada beberapa pembagian pondok pesantren dan tipologi yaitu :
1)      Pesantren Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran degan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yg lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu degan metode sorogan dan weton.
2)      Pesantren Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi) memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
3)      Pesantren Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yg dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
4)      Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja degan program yg terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)
Sedangkan menurut Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1)      Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yg diajarkan dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
2)      Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun degan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yg ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yg dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3)      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yg sampai Perguruan Tinggi yg tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adl contohnya.
4)      Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yg terbanyak jumlahnya. (2002:149-150)

D.    Standarisasi Pesantren
Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan sebuah subkultur dengan syarat: pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dalam bentuk kitab kuning; dan ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Bermodalkan ketiga elemen itulah, maka pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, dan sekaligus sebagai salah satu penopang pilar utama pendidikan di bumi Nusantara ini. Sebab, pondok pesantren telah membuktikan dirinya diterima ditengah-tengah masyarakat dan kyainya menjadi panutan. Fenomena ini telah menunjukkan bahwa puluhan ribu bahkan ratusan lebih orang Indonesia yang ikut merasakan pola pembelajaran pondok pesantren.
Perjalanan sejarah pesantren terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan modern. Dalam proses perubahan dan perkembangan tersebut, pesantren masih tetap eksis dan survive dengan mainstream indigenous (wajah keasliannya). Sebab, pesantren dengan pola pikir khasnya yang dikembangkan selama ini adalah: “al-muhâfazhah ‘ala al-qadîmi ash-shâlih wa al-ahdzu bi al-jadîd al-ashlah” (memelihara hal/tradisi/pemikiran yang baik dan mengambil hal/tradisi/pemikiran baru yang lebih baik).
Bersandikan pada kaidah ushuliyah seperti itu, menempatkan posisi pesantren pada dua fungsi ganda, yaitu: sebagai pewarisan budaya (agent of conservative), dan sekaligus sebagai agen perubahan (agent of change). Sebagai agen pewarisan budaya (agent of conservative), maka melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan norma-norma, serta adat-kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya diwariskan pada suatu generasi ke generasi berikutnya.  Dengan cara ini, kebudayaan dapat dilestarikan, meskipun warga suatu masyarakat berganti-ganti, sedangkan kebudayaan dan sistem sosialnya tetap berlaku.  Di pihak lalin, lembaga pendidikan pesantren berperan sebagai agen perubahan (agent of channge), yaitu adanya upaya untuk membuang unsur budaya lama yang dipandang tidak cocok lagi dan perlunya memasukkan unsur budaya baru.
Atas dasar itulah, ketika Kementerian Agama Republik Indonesia berencana mengkaji standarisasi pendidikan pesantren sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama Suryadarma Ali dalam kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasin, Kraton Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 24 Januari 2010 yang lalu, kalangan pesantren sudah merasa siap dengan rencana perubahan kurikulum tersebut. Sebab, dengan bersandikan kaidah ushuliyah di atas, kurikulum pendidikan pesantren sudah sangat siap dengan perubahan sistem pendidikan menuju standarisasi pendidikan pesantren.
Bagi kalangan pesantren, standarisasi pendidikan pesantren tidak hanya sebatas adanya pengakuan legal formal dari Pemerintah terhadap lulusan pesantren. Sebab, pada prinsipnya alumni pesantren “kurang” membutuhkan legal formal seperti itu. Tanpa legal formal dari Pemerintah pun, para lulusan pesantren sudah eksis ditengah-tengah masyarakat dan bahkan diakui keberadaannya. Di samping itu, orientasi para santri dalam memasuki pendidikan pesantren tidak berorientasi pada perolehan legal formal berupa ijazah sebagaimana halnya lembaga pendidikan formal sekolah. Kebutuhan pesantren yang paling utama saat ini adalah bagaimana Pemerintah secara formal mengakui Pondok Pesantren sebagai sub sistem Pendidikan Nasional, sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap pesantren, baik dalam penetapam anggaran melalui APBN maupun APBD, pengakuan formal ijazah pesantren, dan menjadikan sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu tolok ukur pencapaian tujuan Pendidikan Nasional,  terutama untuk mengevaluasi pencapaian tujuan iman dan taqwa.
Upaya menghapus diskriminasi tersebut sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Hanya saja persoalannya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan, agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren. Misalnya, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti Wajar Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Sayangnya, pihak Diknas mengatur bahwa muatan wajib tersebut diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah Wajar Dikdas yang pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?
Sedangkan pada pendidikan diniyah tingkat menengah, sampai saat ini pemerintah mempunyai kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas (pengakuan/persamaan) tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri. Jadi, pemerintah menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren menganggap model legalitas pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah ini lebih mendekati rasa keadilan.
Keinginan Departemen/Kementerian Agama yang akan melakukan standarisasi pendidikan pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan kualitas dan persamaan hak. Dengan demikian, standarisasi tersebut memberikan jaminan atas keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan struktural.
Standarisasi pendidikan pesantren dimaksudkan oleh Departemen Agama dilakukan karena selama ini belum ada aturan baku yang bisa dijadikan acuan sistem pendidikan pesantren tersebut. “Ini mencari solusi agar lulusan pesantren, terutama salafiyah, bisa mendapatkan pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar Menteri Agama Suryadharma Ali  dalam kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini, Kraton, Pasuruan, Jawa Timur. Demikian keterangan pers dari Humas Departemen Agama, Sabtu (24/1/2010).
Menteri menyampaikan hal itu menanggapi aspirasi alim-ulama, pengelola, dan pengasuh pesantren salafiyah yang sering terkendala masalah administrasi pendidikan, seperti ketiadaan ijazah bagi para alumni. “Sistem pendidikan pesantren, terutama salafiyah, memiliki keunggulan dalam penguasaan pengetahuan agama yang spesfik semisal tafsir, hadis, fikih, dan sebagainya. Apalagi, para santri keluaran pesantren unggul dalam peran-peran kemasyarakatan (social building). Karena itu, sayang kalau mereka belum mendapat pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar SDA. SDA menjelaskan, kini jumlah pesantren terus meningkat, bahkan mencapai angka 23.000 unit di seluruh penjuru Tanah Air.
Sementara itu, menurut KH Abdul Mujib Imron mewakili para pengasuh pesantren salafiyah, pihaknya sering menjadi tempat mengadu para santri alumni. “Upaya mereka bertahun-tahun menimba ilmu seakan-akan menjadi sia-sia hanya karena beberapa lembar kertas. Karena tak punya ijazah sebagai pengakuan pemerintah, mereka sulit mendapat akses ke dunia kerja,” katanya.
Para alumnus ponpes ini pun kesulitan saat memasuki dunia politik, untuk menjadi kepala desa atau lurah saja tidak bisa. Apalagi mencalonkan diri menjadi legislator atau kepala daerah. “Padahal secara kualitas, alumni kami tak kalah bersaing dengan alumni lembaga pendidikan umum,” ujarnya.
Menjawab aspirasi tersebut, SDA mengatakan, Depag sedang mengupayakan standarisasi pendidikan pesantren. Dia menuturkan, sejauh ini Depag sudah mulai memetakan persoalan yang sudah berlangsung sejak lama itu. Di tempat yang sama, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag Chairul Fuad Yusuf menyebutkan, berencana menyiapkan tim untuk mengkaji standarisasi itu.  ”Kita mulai siapkan semacam tim. Mereka akan segera bekerja dan melakukan kajian mendalam. Mudah-mudahan tahun depan (2011) atau paling lambat 2012 sudah bisa diterapkan,” ucapnya.
Standarisasi pendidikan pesantren yang direncanakan pemerintah mendapat tanggapan kritis dari Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU). Wakil Sekretaris Pengurus Pusat RMI, HM Sulthan Fatoni, mengatakan, upaya itu harus melalui kajian yang melibatkan pesantren. Jika tidak, bisa jadi standarisasi itu akan mengarah pada pendangkalan. “Keterlibatan pesantren penting agar kebijakan yang diambil pemerintah sesuai kebutuhan masyarakat pesantren dan tidak malah mengarah pada pendangkalan,” katanya di Jakarta, Senin (25/1).
Upaya menghapus diskriminasi tersebut juga sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. “Masalahnya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren,” katanya.  Ia mencontohkan, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti wajar Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
Sayangnya, pihak Departemen Pendidikan Nasional mengatur bahwa muatan wajib tersebut diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah wajar Dikdas yang Pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. “Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?”.
Pada pendidikan diniyah tingkat menengah (wustha’), sampai saat ini pemerintah memiliki kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri, jadi Pemerintah menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren menganggap model legalitas pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah lebih mendekati rasa keadilan. Keinginan Departemen Agama yang akan melakukan standardisasi pendidikan pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan kualitas, dan persamaan hak.  Dengan demikian standardisasi tersebut memberikan jaminan atas keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan struktural.
Pesantren saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan pendidikan nasional. Pengakuan ini sebenarnya cukup menggembirakan bagi kalangan pesantren yang sebelumnya dianaktirikan. Dukungan pendanaan dari pemerintah juga semakin besar bagi pesantren yang memungkinkannya untuk terus berkembang. Namun adanya Peraturan Pemerintah (PP) PP No 55/2007 sebagai penjabaran UU Sistem Pendidikan Nasional dikhawatirkan akan menjebak pesantren pada standarisasi dan reduksi pengajaran agama.
PP tersebut memungkinkan pemerintah atau lembaga mandiri yang berwenang untuk melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP).  Isi SNP tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga pendidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Keadaan ini dalam jangka panjang akan mengancam eksistensi, karakter dan ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan keilmuan dan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin), sebagai kontrol sosial dan sebagai agen pengembangan masyarakat.
PP ini hanya cocok untuk sekolah formal sedangkan pendidikan informal dan non formal perlu dibuatkan aturan tersendiri. PP ini sangat besar kemungkinannya akan menempatkan pesantren sebagai lembaga yang harus ditertibkan. Aturan seperti ini akan membunuh dengan adanya standar nasional dan Ujian Nasional (UN). Ukuran-ukuran seperti ini dianggapnya terlalu menyederhanakan dan tidak akan mampu menghadapi kompleksitas permasalahan di pesantren. Kehawatirkan sebagian kalangan pesantren tentang rencana standarisasi pendidikan pesantren adalah adanya reduksi pengajaran agama.
Dengan terbitnya PP ini, pemerintah dinilainya juga abai mempertimbangkan aspek budi pekerti yang harus dimiliki para siswa. Jika terjadi penurunan nilai moral, maka bukan semata kesalahan orang tua, tapi kesalahan pemerintah yang tidak bijak dalam mengelola pendidikan.
Di pesantren, anak didik sangat ditekankan pada nilai-nilai moralitas seperti keikhlasan dan spiritualitas yang tidak bisa dengan mudah diukur dengan standar yang dibuat dalam PP tersebut. Apa yang ada di pesantren seperti keikhlasan dan spiritualitas mendorong kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jiwa keikhlasan sudah menjadi tuntunan.
Ini berbeda sekali dengan sistem boarding school, meskipun sama-sama diasramakan layaknya pesantren, motif dan tujuan pembelajarannya sangat berlainan sehingga bisa distandarkan dengan PP tersebut.  Diakuinya saat ini memang terjadi perubahan kebijakan terhadap orang-orang yang akan duduk dalam jabatan publik seperti perlunya persyaratan ijazah bagi politisi, lurah, bupati dan lainnya. Pesantren dalam hal ini juga harus luwes dan mampu mengakomodasi kepentingan santri yang berminat meniti karir di sektor publik. Meskipun begitu, ciri khas pesantren tak boleh dihilangkan. Kita harus bebas intervensi dari siapa pun. Sebab pesantren telah memberikan sumbangan yang besar dalam pelayanan publik.

III.             PENUTUP
Dari pemaparan diatas nampak jelas bahwa melalui Kementrian Agama dibawah Menteri Suryadarma Ali berusaha untuk memajukan Pesantren-pesantren yang selama ini kurang tergarap dan terabaikan, yang ternyata justru pesantrenlah pencetak manusia yang berakhlaq dan berkarakter, nilai-nilai moral biasa dimasukkan dalam kurikulum pesantren.
Adanya wacana standardisasi pesantren member angin segar bagi lulusan pesantren, terhapusnya diskriminatif, dan adanya pengakuan ijazah pesantren akan memudahkan lulusan pesantren untuk terjun dalam dunia politik, masuk ke perguruan tinggi negeri danbisa bersaing masuk dalam bursa lapangan pekerjaa. Walaupun dalam implementasinya kebijakan ini terganjal dengan kebijakan-kebijakan yang lain.










DATAR PUSTAKA
http://blog.re.or/untawijaya.htm
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: LeKDiS. 2005.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Utawijaya. 2011. “Rancangan Kurikulum Syumuliyah/Terpadu Pendidikan Pondok Pesantren Salafiyah Berstandar Nasional”. Majalah Media Pembinaan, No. 03/XXXVIII/Juni 2011.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar